Menikah adalah sebuah kebutuhan dasar setiap manusia (Papalia, 2009). Menikah adalah cara terbaik untuk memperoleh dan membesarkan anak. Menikah mencakup keintiman, pertemanan atau persahabatan, kasih sayang, dan pemenuhan kebutuhan seksual antar pasangan (Papalia, 2009). Menikah juga dapat dikatakan sebuah pencarian dalam pemenuhan kedekatan fisik dan emosional dalam sebuah hubungan. Menikah dapat memperkuat kepekaan terhadap satu sama lain, memperkuat empati, kemampuan mengkomunikasikan perasaan, membuat keputusan yang berhubungan dengan seks, bagaimana mengatasi masalah, dan belajar untuk berkomitmen. Secara umum hubungan pernikahan dijalankan oleh pasangan (dua individu) yang berbeda jenis kelamin. Namun, dalam budaya Tibet, menikah itu berarti seorang anak laki-laki memiliki pasangan yang sama dengan ayahnya, sedangkan dalam budaya Zaire, seorang anak perempuan memiliki pasangan yang dengan ibunya.
Menurut National Surveys, pernikahan adalah faktor yang sangat penting untuk pemenuhan kebahagiaan, lebih penting dari pekerjaan, persahabatan, atau apapun (Papalia, 2009). Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Menurut Hornby (Walgito, 2002), pernikahan adalah bersatunya dua orang sebagai suami dan istri. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Tujuan utama dalam menikah adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Tanpa adanya tujuan di dalam keluarga maka keluarga akan dengan mudah menghambati halangan-halangan. Bagi wanita, pernikahan adalah cara untuk berbagi atau bercerita yang berhubungan dengan perasaan mereka dan sebuah kepercayaan diri, sedangan bagi pria, menikah adalah cara untuk pemuasan seksual, saling membantu dalam urusan rumah tangga, persahabatan, dan melakukan kegiatan bersama.
Mengapa Pernikahan Penting?
Pada tahapan perkembangan sosioemosional Erikson, dinyatakan pada tahapan keenam, yaitu intimacy vs. isolation, manusia membutuhkan kedekatan satu sama lain dan memiliki perasaan bahwa ia kehilangan sesuatu pada dirinya apa bila tidak berhubungan dengan orang lain (King, 2011). Intimacy dalam perkembangan sosioemosional ini termasuk sebuah kebutuhan. Orang yang mengalami intimacy atau kedekatan memiliki perasaan kepemilikian (belongingness) terhadap orang lain. Maslow menyatakan teori hierarcy of needs. Kebutuhan yang ketiga, love and belongingness, menjelaskan bahwa manusia membutuhkan hubungan pertemanan dengan pasangan atau anak, kebutuhan memiliki keluarga, termasuk dalam sebuah komunitas, dan pemenuhan seksual atau hanya sekadar kedekatan yang memberikan keutuhan timbal balik (Feist, 2009). Orang yang menikah cenderung memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik.
Dalam pernikahan, setiap pasangan memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut adalah
1. Kebutuhan fisiologis adalah pemenuhan kebutuhan seksual.
2. Kebutuhan psikologis adalah dimana setiap lelaki dan wanita membutuhkan teman hidup yang dapat saling mengisi akan kebutuhan psikologis seperti rasa kasih sayang, rasa aman, ingin dilindungi dan ingin dihargai.
3. Kebutuhan sosial adalah dimana setiap manusia terikat akan norma masyarakat. Pernikahan adalah salah satu hal yang sangat terikat. Pada masyarakat tertentu, dikatakan bahwa seseorang yang tidak menikah akan dipandang secara berbeda. Bahkan belum tentu diterima oleh masyarakat.
4. Kebutuhan religi. Pernikahan di dorong oleh kepercayaan sesuai dengan agama yang tersangkutan. Melaksanakan pernikahan adalah salah satu hal yang dapat dipenuhi. Dalam agama, dititahkan bahwa wanita dan pria perlu melakukan pernikahan.
5. Ingin memiliki keturunan untuk keluarga. Dengan memiliki keturunan, mampu mempertahankan dan meneruskan nama keluarga.
Faktor yang Berpengaruh
Pada mayoritas masyarakat wanita di Indonesia menikah antara usia 24 tahun- 27 tahun. Namun pada beberapa puluh tahun yang lalu, usia mayoritas wanita untuk menikah adalah 17 tahun – 22 tahun. Jika seorang wanita belum memutuskan untuk menikah pada usia lebih dari 27 tahun, maka wanita itu sering diberi image negatif. Image negatif yang sering kita dengar adalah perawan tua, “ga laku-laku”. Hal seperti ini sering membuat orang tua menjadi khawatir akan masa depan anak perempuannya tersebut. Akibat melihat kondisi anak perempuannya, orang tua sering mengambil keputusan untuk mulai menjodohkan anak perempuannya dengan anak lelaki temannya.
Dalam mengambil keputusan untuk menikah, maka perempuan harus memilih pasangan yang cocok dan sempurna untuknya. Dalam memilih pasangan, ditemukan bahwa adanya kecenderungan untuk menikahi seseorang yang similiar dengan dirinya, yang disebutassortiveness. Dalam proses ini, hal yang terlibat adalah umur, latar belakang pendidikan, status sosioekonomi, ketertarikan fisik, kepribadian dan intelegensi. Menurut Murstein, assortiveness ini meningkat karena aspek agama dan ras. Selain itu terdapat exchange theories, pada teori ini dinyatakan bahwa kedua pihak, pria dan wanita, akan berusaha membuat interaksi hubungan mereka menjadi menguntungan untuk satu sama lain. Untuk menentukan apakah menguntungkan atau tidak, maka satu pihak akan mempertimbangkanreward dan cost dalam hubungan
Pengaruh lain yang mempengaruhi pemilihan pasangan sering sekali diperngaruhi oleh timing, critical incident, social network, media sosial. Timing sering sekali memainkan peran penting dalam menentukan dengan siapa ia menikah. Banyak orang bertemu dengan orang yang menarik di saat waktu yang tak terduga. Hal lain yang mempengaruhi adalah critical incident, misalnya seseorang mengalami kehamilan di luar menikah. Maka biasanya, orang tua akan meminta anaknya untuk segera menikah agar tidak merusak nama keluarga. Sedangkan untuk social network, melalui orang tua, keluarga, teman, rekan kerja, kita mampu memperluas pertemanan dan sekaligus bertemu dengan orang baru. Di mana bisa menjadi awal untuk memulai pertemanan hingga tahap yang lebih tinggi. Pada jaman teknologi yang sangat berkembang, memiliki media sosial adalah suatu hal yang umum. Melalui media sosial, kita mampu berkenalan dan bertemu orang baru dan membangun komunikasi yang tidak terputus akibat jarak.
Melalui cross-cultural study, lebih dari 9000 orang dari 37 negara merepresentasikan sebagai bagian dari dunia untuk mengenai pentingnya tiga puluh satu karakteristik pada pasangan yang berpotensi. Pada pembelajaran ini partisipan memiliki usia rata-rata 23 tahun dan merupakan masyarakat dengan pendidikan yang baik dan gaya hidup yang berkecukupan. Perbedaan paling besar adalah mengenai nilai tradisional seperti harus pintar masak dan menjaga rumah tangga. Dalam budaya yang sama, maka pria dan wanita memiliki persamaan dalam pemilihan pasangan dibandingkan dengan pria dan pria pada budaya yang berbeda dan antar wanita pada budaya yang berbeda. Dibandingkan antara wanita dan pria, maka antara pria dan wanita juga setuju terdapat empat karakteristik paling penting yang harus dimiliki pasangan menikah, yaitu terdapat ketertarikan antara satu sama lain dan cinta, karakter yang dapat diandalkan, stabilitas emosional dan penempatan diri yang baik. Selain keempat karakteristik ini, disebutkan pula bahwa pendidikan dan tingkat intelegensi penting.
9 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar