Hello again, readers! Penulis ingin berbagi pengetahuan mengenai topik kuliah minggu lalu, perempuan dalam lingkup keluarga nih. Lets go! Nah, di blog pertama penulis menuliskan bahwa perempuan itu harus tangguh apalagi setelah mereka menikah dan menjadi ibu rumah tangga. There’s so many things to do once when a woman become a housewife!! Kog gitu? Anda dapat melihat contohnya dalam kehidupan sehari-hari, ibu, tante, kakak perempuan atau kakak ipar yang mengasuh anak sekaligus mengurus rumah tangga. Itulah realita kehidupan ibu rumah tangga yang diremehkan sebagian kalangan, penulis berharap blog ini menyadarkan pembaca akan kesulitan seorang ibu rumah tangga. Selain banyaknya do dan don’t dalam rumah tangga, pastinya ada konflik antara mertua dan menantu, suami dan istri, maupun orangtua dan anak. Pada dasarnya menikah itu tidak hanya menyatukan sepasang kekasih, tetapi juga keluarga dari kedua belah pihak. Well, there’s no easy marriage, need readiness physically and mentally. Bagi sepasang kekasih, menyatukan pikiran saja sulit, bagaimana menggabungkan pikiran begitu banyak orang belum lagi dipengaruhi tradisi dan budaya masing-masing? Think twice please before you decide something cuz YOUR FUTURE will be influenced!
Penulis menyorot faktor readiness perempuan menikah yang melakukan tindak kekerasan pada bayi. Sebenarnya, menjadi ibu adalah suatu berkat berharga yang diberikan sang pencipta kepada perempuan, bersyukurlah. Kenapa? Karena dengan menjadi ibu, seorang perempuan memperoleh kekuatan dalam menjalani perannya, memiliki interaksi dengan anak, dan dapat mengembangkan kemampuan dalam pengasuhan. Tentu di balik hal yang menyenangkan terdapat hal yang negatif, misalnya saja perasaan lelah dan secara fisik tidak nyaman (bentuk badan berubah), terisolasi, marah hingga kecewa. Akan tetapi, bila kehamilan yang terjadi merupakan kehamilan yang diinginkan, otomatis sang ibu akan lebih mengontrol emosinya. Beda dengan ibu yang melahirkan bayinya karena diperkosa atau menikah karena ‘kecelakaan’. Coba deh anda bayangkan, perempuan mana yang mau melahirkan bayi tanpa ayah (apalagi bila ayah bayi tidak diketahui) atau menikah karena malu akan perut yang membuncit?
“itu kan salah dia sendiri karena keluyuran malam-malam.”
Penulis memiliki pengalaman tentang perempuan yang menikah karena ‘kecelakaan’. Perempuan ini memiliki ayah yang otoriter dan cenderung melakukan kekerasan fisik dan verbal juga terhadap dirinya. Perempuan tersebut menikah dengan ayah si bayi, tetapi pernikahan tidak berlangsung lama karena kurangnya nafkah dari suami dan konflik yang ada dalam rumah tangganya (karena beda budaya). Dalam proses pengasuhan anaknya, perempuan ini juga melakukan kekerasan pada anaknya (verbal dan fisik). Kasihan bukan? Sebenarnya bila diusut, perempuan ini kurang memperoleh perhatian dan kasih sayang dari ayah. Perempuan tersebut menemukannya pada pria yang menghamilinya sehingga ia terbuai oleh kasih sayang palsu pria tersebut. Ibu si perempuan membelanya supaya ayahnya mau menerima putri mereka dan cucu mereka. Awalnya sulit, akan tetapi ibu dan saudaranya berhasil meyakinkan sang ayah.
Berdasarkan short case di atas, penulis menekankan jangan salahkan perempuan atas musibah yang diterimanya semata! Itu merupakan pikiran kolot yang tidak manusiawi terhadap kaum perempuan. Most people do judge,not empathy.Oleh karena itu, penulis ingin menekankan bahwa pola asuh orangtua, lingkungan, dan dukungan (sosial dan ekonomi) turut mempengaruhi kehidupan seseorang, terutama perempuan. Perempuan sebagai ibu juga tidak tega melihat anaknya menderita dan disakiti.
So, love your self, girls. It’s never easy to grow up, but you must try to fit the environment, not escape from it. Also think about your parents, especially your mom who give you birth and commit her self to take care of you by the rest of her life.
9 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar