Beberapa minggu yang lalu, saya dan teman-teman kelas Teknik Wawancara yang lain ditugaskan untuk mencari informasi mengenai wawancara dari praktisi yang sudah berpengalaman, dari mulai bidang klinis anak dan dewasa, pendidikan, dan juga industri organisasi. Dalam tulisan kali ini saya akan memberikan informasi mengenai penggunaan wawancara dalam pendidikan. Subyek wawancara dalam bidang pendidikan di kelas kami keduanya adalah guru BK. Menurut guru BK, wawancara digunakan untuk mengetahui masalah dan mencari solusi untuk permasalahan siswa di sekolah. Tetapi, guru BK di sekolah biasanya tidak hanya memberikan konseling, tetapi juga membantu memberikan referensi tentang universitas, dan juga kemungkinan untuk menangani masalah yang dialami oleh guru. Salah satu guru BK di salah satu SMA Negeri di Jakarta Barat mengatakan bahwa di sekolah tersebut tidak terdapat masalah-masalah siswa yang berat.
Permasalahan biasanya seputar membolos, telat masuk sekolah, dan permasalahan dalam kelompok pertemanan/geng. Dalam melakukan wawancara biasanya guru BK melakukan pendekatan dan juga melihat waktu, situasi, dan kondisi dari siswa. Contohnya seperti siswa yang sudah penat melakukan kegiatan belajar di sekolah biasanya tidak mau jika diajak untuk bertemu dengan guru, jadi jika guru BK melihat kondisi siswa sudah dirasa memungkinkan untuk wawancara, baru beliau melakukannya.
Tidak jarang juga siswa merahasiakan permasalahannya dengan orangtua. Dari informasi yang didapatkan dari guru BK, biasanya siswa yang sudah mendapatkan peringatan tetapi masih melakukan pelanggaran di sekolah kemudian akan dipanggil orangtua. Jika orangtua tidak datang (kemungkinan surat panggilan tidak disampaikan), maka yang dilakukan oleh guru BK adalah melakukan home visit. Dalam permasalahan dengan teman kelompok, guru BK biasanya terlebih dahulu menggunakan sosiometri untuk mengetahui siswa mana yang paling berpengaruh dalam kelompok itu, siswa yang tersebut yang kemudian diwawancara oleh guru BK untuk memulai mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada.
Menjadi seorang konselor atau praktisi yang bekerja di bidang pendidikan sepertinya menarik untuk saya. Perbedaannya dengan psikolog pendidikan adalah menjadi guru BK hanya sebatas melakukan konseling dengan siswa, tidak dapat mengaplikasikan alat tes. Dalam bidang pendidikan, ada hal yang harus diperhatikan yaitu jangan sampai siswa menjadidependent atau bergantung kepada konselor atau psikolog. Jika hal ini terjadi maka harus ada pihak ketiga (psikolog atau guru BK yang lain) untuk menjembatani hubungan siswa dan guru, yang perlahan akan mengurangi sifat dependent yang sudah muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar