Pada pertemuan Minggu lalu, kelas Teknik Wawancara didatangkan seorang psikolog dalam bidang pendidikan yang bernama Bu Aswini. Beliau adalah seorang academic director di sebuah sekolah internasional yang berlokasi di daerah Pluit. Sekolah tempat beliau bekerja khusus untuk early childhood. Anak- anak yang bersekolah di sana tidak terlalu banyak, sekitar 100-an orang , dan staff guru yang mengajar di sana hanya berjumlah 15 orang. Tugas beliau di sekolah tersebut adalah memastikan kurikulum supaya berjalan dengan lancar, selain itu beliau juga melakukan wawancara untuk guru dan staff lainnya. Beliau mengatakan, kriteria guru yang bekerja di sana bukan cuma suka pada anak- anak saja, tetapi membutuhkan kreativitas untuk menciptakan strategi pembelajaran yang menyenangkan bagi anak- anaknya.
TK tempat beliau bekerja berbeda dengan TK lainnya. Di TK tersebut tidak ditekankan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung. Tk tempat beliau bekerja lebih menekankan active learning. Di dalam kelas terdapat beberapa area, seperti reading area, writing area, computer area, playing area, dll. Anak-anak diberi kebebasan untuk menentukan apa yang mereka ingin pelajari. Setiap guru hanya mengontrol aktivitas dari anak- anaknya dan guru cenderung berperan sebagai guide. Guru juga mengajarkan pada anak- anak untuk membereskan barang- barang yang telah mereka gunakan sehingga anak- anak dibiasakan untuk bertanggung jawab untuk merapikan barang yang mereka gunakan. Pembelajaran seperti ini dapat meningkatkan kreativitas anak dan mereka bebas untuk bereksplorasi. Walaupun tidak ditekankan pada metode calistung ( membaca, menulis, berhitung) namun bukan berarti sama sekali tidak diajarkan, tetapi menggunakan pendekatan yang berbeda. Biasanya, orang tua dari murid akan memberikan les di luar sebagai tambahan untuk meningkatkan kemampuan calistung dari anak- anaknya.
Hmmm... Saya jadi teringat pengalaman saya ketika menjadi guru bimbel anak TK. Ada seorang anak yang setiap kali datang les susah banget mau disuruh belajar, dibujuk pakai apapun dia tidak mau belajar. Akhirnya anak itu bercerita bahwa dia tidak ada waktu bermain. Dia berkata bahwa dia sangat suka bermain tapi tidak ada waktu. Setelah pulang sekolah, dia harus Les bimbel. Setelah pulang dari bimbel, dia lanjut les Inggris. Sesampai di rumah, dia makan, lalu disuruh untuk tidur lebih awal agar tidak kesiangan keesokan harinya. Saya sangat kasihan dengan anak tersebut. Sehingga setiap kali dia datang les, saya memberinya waktu setengah jam lebih kepadanya untuk bermain terlebih dahulu, setelah itu baru belajar. Anak itu sangat senang dengan kesepakatan tersebut. Walaupun akhirnya dia pulang lebih telat dibandingkan dengan teman- teman lainnya, namun dia kelihatan senang. Hal ini sangat menyadarkan saya jika suatu hari saya sudah memiliki anak. Sebagai orang tua, janganlah kita berpikir untuk membuat anak kita menjadi sepintar mungkin, namun perhatikan apa yang anak kita butuhkan sesuai dengan tahap perkembangannya. Masa anak- anak memang identik dengan bermain. Mari jadikan masa kecilnya indah dan bahagia! Hahahah... jangan suram yaa (yang merasa aja, hahaha). ^^
5 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar