Social History adalah suatu informasi mengenai riwayat hidup seseorang. Salah satu keuntungan bila kita mengetahui social history klien maka interviewer bisa lebih menangani klien lebih tepat di bandingkan dengan yang tidak menggali aspek sosial history. Terdapat banyak cangkupan dalam social history diantaranya ada 17 aspek. Saya akan bahas satu persatu dari setiap aspek.
1. Family of origin
2. Extended family
3. Present family constellation
4. Educational level attained
5. Occupational training/ job history
6. Marital (significant other) history
7. Interpersonal relationship history/ Social network
8. Recreational preferences/ Leisure activities
9. Sexual history
10. Medcal history – including significant family medical history
11. Psychiatric/ psychotherapy history
12. Legal history
13. Alcohol and substance abuse
14. Nicotine and caffeine consumption
15. Current living situation
16. Source of support
17. Religion
1. Family of origin
2. Extended family
3. Present family constellation
4. Educational level attained
5. Occupational training/ job history
6. Marital (significant other) history
7. Interpersonal relationship history/ Social network
8. Recreational preferences/ Leisure activities
9. Sexual history
10. Medcal history – including significant family medical history
11. Psychiatric/ psychotherapy history
12. Legal history
13. Alcohol and substance abuse
14. Nicotine and caffeine consumption
15. Current living situation
16. Source of support
17. Religion
1. Family of origin, Extended family, Present family constellation. Aspek pertama yang dapat di telusuri adalah aspek dengan keluarga klien. Pada aspek ini menurut saya, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menulusuri masalah keluarga. Apalagi bila keluarga besar, klien di minta untuk menyebutkan satu persatu dari nenek kakek hingga cucu paling muda. Tentunya bila terlampau terlalu banyak anggota keluarga akan di bagi menjadi hingga dua sesi sambil menanyakan aspek yang lain agar menghindari kejenuhan klien apabila terus menerus di tanyai soal keluarga. Dalam aspek keluarga, hal yang di tanyakan dalam aspek keluarga adalah menanyakan biodata subjek seperti tanggal lahir dan tempat klien berasal. Lalu, hubungan antara subjek dengan anggota keluarga serta apakah dari keluarga klien ada yang mengalami perceraian ataupun ganguan mental. Untuk penjelasan lebih lanjut, akan lebih mudah apabila menjelaskan aspek ini dengan mengunakan genogram atau biasa disebut dengan pohon keluarga.
2. Educational level attained. Aspek kedua yang tidak kalah penting adalah aspek educational history. Dalam aspek ini, interviewer bisa menelusuri hal apa saja yang klien dapat dari dunia pendidikan terutama di sekolah. Misalnya, interviewer dapat menelusuri nilai akademik selama klien menempuh pendidikan formal seperti nilai raport ataupun kegiatan kegiatan yang klien ikuti selama di sekolah atau universitas. Namun, nilai raport yang baik tidak selalu menjadi representasi intelegensi dari klien. Hal yang paling di nilai dalam educational history adalah proses pembelajaran. Interviewer juga dapat menelusuri hubungan sosial antara teman sebayanya semasa masih menempuh pendidikan ataupun mungkin terdapat trauma dalam diri klien yang mungkin saja mendapatkan bullying ataupun tindak perilaku rasis oleh teman sebayanya. Setelah pengalaman dengan keluarga, pengalaman di sekolah merupakan pengaruh terbesar pada pembentukan karakter individu. Hal ini bisa kita dapatkan melalui educational history klien, yang mencangkup prestasi akademik klien dan pengalaman-pengalamannya dalam dunia pendidikan. Memori dan persepsi klien mengenai masa-masa sekolahnya dapat memberi tahu pewawancara tentang kesuksesan klien dalam dunia pendidikan dan proses sosialisasi. Mengenai prestasi sekolah, perlu diingat bahwa prestasi sekolah tidak selalu mencerminkan tingkat intelektual klien. Kadang, kita akan bertemu orang yang memiliki prestasi sekolah baik, namun tidak dapat beradaptasi di luar dunia pendidikan, sedangkan ada juga orang yang tidak memiliki prestasi sekolah yang baik, namun sangat sukses di dunia kerja dan di luar dunia pendidikan. Kemampuan klien untuk mengembangkan hubungan-hubungan interpersonal di sekolah, seperti pertemanan, cenderung mencerminkan kemampuannya untuk mengembangkan hubungan di masa depan. Kurangnya memiliki hubungan interpersonal selama masa sekolah dapat menjadi indikasi bahwa klien belum memiliki keterampilan dasar untuk bersosialisasi dan dapat di prediksi gagal pula dalam menjalin komunikasi dalam masuk dalam dunia kerja.
3. Occupational training/ job history. Aspek ketiga yang dapat di gali oleh interviewer adalah ocupational training dan rekam jejak pekerjaan mereka bagi klien yang sudah bekerja. Rekam jejak pekerjaan memberikan bagaimana keadaan klien di lingkungan pekerjaan seperti apakah klien sering berganti pekerjaan atau terlalu lama terlalu lama menduduki satu posisi yang kurang strategis selama belasan atau puluhan tahun. Serta jangan lupakan bertanya dengan hubungan antara rekan kerja serta atasan klien. Selain itu, interviewer juga perlu mengali tentang occupational training klien seperti soft skill yang di punyai oleh klien. Yang biasa terjadi di dunia PIO adalah IPK tidak selalu menjadi patokan dalam proses rekrutmen karyawan. Perlu di ingat, seperti yang di katakan HRD yang kelompok saya wawancarai pada tugas wawancara kemarin, IPK terlalu tinggi juga tidak baik karena dapat terjadi over capacity. Dari hasil diskusi di kelas teknik wawancara kemarin ada beberapa soft skill yang biasa di perlukan oleh perusahaan yaitu; manajemen waktu yang baik, problem solving, third language, komunikasi verbal yang baik, koneksi/sosialisasi, skill computer seperti mengunakan microsoft word atau mebuat power point serta pengalaman mendapatkan beasiswa.
4. Matrial History dan Interpersonal Relationship. Dalam aspek ini interviewer menanyakan tentang status pernikahan dan hubungan rumah tangga bagi yang sudah menikah. Sedangkan interpersonal relationship lebih kepada aspek aspek dimana interviewer menelusuri hubungan klien dengan orang lain.
5. Sexual History. Dalam aspek ini interviewer lebih menggali kepada hal yang berhubungan tentang kehidupan seksual klien biasanya sexual history lebih sering di gunakan dalam wawancara dalam setting klinis. Topik ini sangatlah sensitif untuk di bahas bagi beberapa orang. Terutama, bagi individu yang mengalami penyakit seksual menular ataupun perbedaan orientasi seksual. Meskipun dalam DSM V, homoseksual ataupun lesbian bukanlah hal yang termasuk kategori gangguan psikologi lagi. Namun secara budaya terutama di Indonesia, perbedaan oritentasi seksual merupakan sebuah aib bagi kebanyakan orang. Masih banyak orang orang yang belum bisa menerima perbedaan orientasi seksual.
6. Recreational Preferences. Di aspek ini interviewer lebih menggali kepada hal yang berhubungan dengan hobi klien atapun kapan terakhir klien melakukan rekreasi. Karena bisa saja, kurangnya waktu untuk berlibur atau sekedar menyalurkan hobi dapat membuat klien terterkan dan mudah stress.
7. Nicotine and Caffeine Compsumption. Di aspek ini interviewer lebih menggali kepada hal yang berhubungan dengan konsumsi nikotin yang biasanya dapat dalam bentuk rokok. Konsumsi nikotin yang terlalu banyak juga akan menyebabkan penyakit yang masuk dalam tubuh termasuk kanker, impotensi serta ganguan pada janin bagi wanita yang mengonsumsi nikotin pada masa kehamilan. Kafein adalah zat yang cukup aman untuk di konsumsi, dari beberapa artikel yang saya baca, kafein dapat menurunkan kemungkinan munculnya penyakit Alzheimer. Tetapi bila di konsumsi terlalu banyak akan menyebabkan kecanduan serta gangguan psikologis lainya yang mungkin terjadi adalah ganguan kecemasan.
8. Alcohol and Substace Abuse. Dalam aspek ini interviewer lebih menggali pengunakan alkohol dan drugs. Apakah klien mengalami kecanduan mengunakan alcohol bila sedang terkena masalah ataupun klien yang mengunakan narkotika ataupun obat obat ringan seperti sleeping pils untuk klien yang menderita insomnia. Apakah ketergantungan atau tidak.
9. Medical History . Dalam aspek ini interviewer lebih menggali tentang rekam medis klien. Apakah pernah terdapat riwayat operasi, rawat inap maupun hasil checkup medis yang di lakukan oleh klien. Ataupun riwayat penyakit keluarga, apakahkah terdapat penyakit turunan yang secara genetik turun misalnya seperti diabetes ataupun buta warna. Tentunya interviewer atau psikolog juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang obat untuk lebih mengerti dalam dapat memudahkan dalam menggali aspek medis pada klien
2. Educational level attained. Aspek kedua yang tidak kalah penting adalah aspek educational history. Dalam aspek ini, interviewer bisa menelusuri hal apa saja yang klien dapat dari dunia pendidikan terutama di sekolah. Misalnya, interviewer dapat menelusuri nilai akademik selama klien menempuh pendidikan formal seperti nilai raport ataupun kegiatan kegiatan yang klien ikuti selama di sekolah atau universitas. Namun, nilai raport yang baik tidak selalu menjadi representasi intelegensi dari klien. Hal yang paling di nilai dalam educational history adalah proses pembelajaran. Interviewer juga dapat menelusuri hubungan sosial antara teman sebayanya semasa masih menempuh pendidikan ataupun mungkin terdapat trauma dalam diri klien yang mungkin saja mendapatkan bullying ataupun tindak perilaku rasis oleh teman sebayanya. Setelah pengalaman dengan keluarga, pengalaman di sekolah merupakan pengaruh terbesar pada pembentukan karakter individu. Hal ini bisa kita dapatkan melalui educational history klien, yang mencangkup prestasi akademik klien dan pengalaman-pengalamannya dalam dunia pendidikan. Memori dan persepsi klien mengenai masa-masa sekolahnya dapat memberi tahu pewawancara tentang kesuksesan klien dalam dunia pendidikan dan proses sosialisasi. Mengenai prestasi sekolah, perlu diingat bahwa prestasi sekolah tidak selalu mencerminkan tingkat intelektual klien. Kadang, kita akan bertemu orang yang memiliki prestasi sekolah baik, namun tidak dapat beradaptasi di luar dunia pendidikan, sedangkan ada juga orang yang tidak memiliki prestasi sekolah yang baik, namun sangat sukses di dunia kerja dan di luar dunia pendidikan. Kemampuan klien untuk mengembangkan hubungan-hubungan interpersonal di sekolah, seperti pertemanan, cenderung mencerminkan kemampuannya untuk mengembangkan hubungan di masa depan. Kurangnya memiliki hubungan interpersonal selama masa sekolah dapat menjadi indikasi bahwa klien belum memiliki keterampilan dasar untuk bersosialisasi dan dapat di prediksi gagal pula dalam menjalin komunikasi dalam masuk dalam dunia kerja.
3. Occupational training/ job history. Aspek ketiga yang dapat di gali oleh interviewer adalah ocupational training dan rekam jejak pekerjaan mereka bagi klien yang sudah bekerja. Rekam jejak pekerjaan memberikan bagaimana keadaan klien di lingkungan pekerjaan seperti apakah klien sering berganti pekerjaan atau terlalu lama terlalu lama menduduki satu posisi yang kurang strategis selama belasan atau puluhan tahun. Serta jangan lupakan bertanya dengan hubungan antara rekan kerja serta atasan klien. Selain itu, interviewer juga perlu mengali tentang occupational training klien seperti soft skill yang di punyai oleh klien. Yang biasa terjadi di dunia PIO adalah IPK tidak selalu menjadi patokan dalam proses rekrutmen karyawan. Perlu di ingat, seperti yang di katakan HRD yang kelompok saya wawancarai pada tugas wawancara kemarin, IPK terlalu tinggi juga tidak baik karena dapat terjadi over capacity. Dari hasil diskusi di kelas teknik wawancara kemarin ada beberapa soft skill yang biasa di perlukan oleh perusahaan yaitu; manajemen waktu yang baik, problem solving, third language, komunikasi verbal yang baik, koneksi/sosialisasi, skill computer seperti mengunakan microsoft word atau mebuat power point serta pengalaman mendapatkan beasiswa.
4. Matrial History dan Interpersonal Relationship. Dalam aspek ini interviewer menanyakan tentang status pernikahan dan hubungan rumah tangga bagi yang sudah menikah. Sedangkan interpersonal relationship lebih kepada aspek aspek dimana interviewer menelusuri hubungan klien dengan orang lain.
5. Sexual History. Dalam aspek ini interviewer lebih menggali kepada hal yang berhubungan tentang kehidupan seksual klien biasanya sexual history lebih sering di gunakan dalam wawancara dalam setting klinis. Topik ini sangatlah sensitif untuk di bahas bagi beberapa orang. Terutama, bagi individu yang mengalami penyakit seksual menular ataupun perbedaan orientasi seksual. Meskipun dalam DSM V, homoseksual ataupun lesbian bukanlah hal yang termasuk kategori gangguan psikologi lagi. Namun secara budaya terutama di Indonesia, perbedaan oritentasi seksual merupakan sebuah aib bagi kebanyakan orang. Masih banyak orang orang yang belum bisa menerima perbedaan orientasi seksual.
6. Recreational Preferences. Di aspek ini interviewer lebih menggali kepada hal yang berhubungan dengan hobi klien atapun kapan terakhir klien melakukan rekreasi. Karena bisa saja, kurangnya waktu untuk berlibur atau sekedar menyalurkan hobi dapat membuat klien terterkan dan mudah stress.
7. Nicotine and Caffeine Compsumption. Di aspek ini interviewer lebih menggali kepada hal yang berhubungan dengan konsumsi nikotin yang biasanya dapat dalam bentuk rokok. Konsumsi nikotin yang terlalu banyak juga akan menyebabkan penyakit yang masuk dalam tubuh termasuk kanker, impotensi serta ganguan pada janin bagi wanita yang mengonsumsi nikotin pada masa kehamilan. Kafein adalah zat yang cukup aman untuk di konsumsi, dari beberapa artikel yang saya baca, kafein dapat menurunkan kemungkinan munculnya penyakit Alzheimer. Tetapi bila di konsumsi terlalu banyak akan menyebabkan kecanduan serta gangguan psikologis lainya yang mungkin terjadi adalah ganguan kecemasan.
8. Alcohol and Substace Abuse. Dalam aspek ini interviewer lebih menggali pengunakan alkohol dan drugs. Apakah klien mengalami kecanduan mengunakan alcohol bila sedang terkena masalah ataupun klien yang mengunakan narkotika ataupun obat obat ringan seperti sleeping pils untuk klien yang menderita insomnia. Apakah ketergantungan atau tidak.
9. Medical History . Dalam aspek ini interviewer lebih menggali tentang rekam medis klien. Apakah pernah terdapat riwayat operasi, rawat inap maupun hasil checkup medis yang di lakukan oleh klien. Ataupun riwayat penyakit keluarga, apakahkah terdapat penyakit turunan yang secara genetik turun misalnya seperti diabetes ataupun buta warna. Tentunya interviewer atau psikolog juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang obat untuk lebih mengerti dalam dapat memudahkan dalam menggali aspek medis pada klien
10. Pschotherapy History. Dalam aspek ini interviewer lebih menggali tentang rekam jejak psikoterapi yang pernah dijalani klien. Apakah klien pernah terdiagnosa penyakit gangguan psikologis tertentu. Dan berapa lama klien menjalankan proses psikoterapitersebut.dapat juga di tanyakan perasaan klien setelah menjalani proses psikoterapi.
11. Legal History. Dalam aspek legal history interviewer lebih menggali tentang aspek legal yang mnyangkut masalah hukum.misalnya, pernah masuk penjara, menjadi saksi di pengadilan ataupun pernah melanggar aturan lalu lintas atau tidak.
12. Current Living Situation. Interviewer dapat menanyakan kondisi lingkungan tempat klien tinggal sekarang. Dengan siapa dia tinggal. Ini akan memudahkan interviewer menggali masalah-masalah yang di alami oleh klien.
13. Source of Support. Interviewer dapat menggali lebih dalam setelah mengetahui kondisi tempat lingkungan klien tinggal. Salah satunya dengan menggali siapa saja yang memberikan saran atau dukungan klien selama ini. Biasanya dukungan pertama datang dari keluarga namun tidak menutup kemungkinan dukungan datang dari pihak lain semisal dari teman ataupun orang-orang lain di sekitarnya.
14. Religion. Sama halnya seperti sexual history, aspek agama juga merupakan hal yang sensitive untuk di bahas. Dalam aspek ini interviewer lebih harus berhati hati dalam mengajukan pertanyaan. Terlebih bila agama satu sama lain berbeda. Ataaupun melontarkan pertanyaan kepada klien yang meruupakan seorang atheis. Biasanya, pandangan masyarakat terutama di Indonesia, yang masih kurang bisa menerima kaum-kaum atheis.
Pada akhirnya, setelah saya mempelajari social history di kelas teknik wawancara serta dengan menulis blog ini pun membuat saya mengerti bahwa social history merupakan hal yang sangat penting bagi seorang interviewer untuk mendapatkan informasi tentang klien. Namun, saya menyadari tidak mudah untuk mendapatkan informasi tentang social history dengan baik. Beberapa di ataranya, interviewer harus dapat melakukan probing dengan baik. Selain itu, gaya bicara kepada klien juga terkesan ceplas ceplos atau terkesan terlalu mengintrograsi klien. Hal tersebut bisa saja akan merasa ilfeel dan menjadi tertutup.
Sebelum saya mengakhiri tulisan saya ini, ijinkan saya mengutip kata-kata yang di ucapakan ibu henny di akhir perkuliahan teknik wawancara kamis kemarin “hidup memang butuh uang. Sampai sekarangpun saya juga masih butuh uang tapi kalau anda kerja cuma demi dapat uang maka anda adalah orang yang hina”. Pada post bulan november nanti, saya berencana akan menulis lagi tentang laporan hasil wawancara dan hasil sharing pengalaman dengan praktisi di bidang PIO dan pendidikan.
26 Sept 2014