Wawancara bukanlah hal yang asing lagi di telinga saya sebagai seorang mahasiswa, terutama bagi mahasiswa psikologi semester tujuh seperti saya yang sebentar lagi akan lulus (amin) pasti akan menghadapi wawancara dalam seleksi dunia kerja. Lalu, apa sih yang di maksud dengan wawancara itu sendiri ? kalau menurut saya sendiri, wawancara itu merupakan pembicaraan antara dua orang untuk mengetahui/menggali sebuah informasi. Namun menurut buku Intentional Interviewing and Counseling yang saya baca, Wawancara adalah proses paling dasar untuk mengumpulkan informasi, penyelesaian masalah, dan informasi psikososial (Ivey, Ivey, & Zalaquett, 2010)
Teknik wawancara juga salah satu teknik paling ampuh untuk mengali informasi dari seseorang. Di tengah maraknya bocoran interpretasi alat tes yang di lakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, teknik wawancara di lakukan untuk memeriksa keselarasan dengan hasil tes psikologis. Selain itu teknik wawanccara juga sangat berguna untuk memperoleh informasi yang tidak bisa di dapatkan dalam alat tes. Misalnya, dalam teknik wawancara seorang interviewer dapat mengobservasi tingkah laku, reaksi klien dengan cara melihat dari bahasa tubuh misalnya.
Namun, teknik wawancara juga memiliki beberapa kekurangan salah satunya teknik wawancara membutuhkan waktu yang cukup lama dan juga melelahkan. Jangan lupa bahwa teknik wawancara juga membutuhkan skill observasi yang memumpuni agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Namun, teknik wawancara juga memiliki beberapa kekurangan salah satunya teknik wawancara membutuhkan waktu yang cukup lama dan juga melelahkan. Jangan lupa bahwa teknik wawancara juga membutuhkan skill observasi yang memumpuni agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Di dalam setting PIO, sepengetahuan saya pertanyaan yang di ajukan oleh interviewer (pewawancara) biasanya seputar mengapa kamu menginginkan pekerjaan ini, ekspektasi gaji atau bisa juga di tanyakan hal seputar pemencahan masalah. misalnya, bagaimana cara anda menghadapi boss yang otoriter atau bagaimana cara anda mengahdapi rekan kerja yang melakukan social loafing.
Dalam seting dunia pendidikan, seringkali di lakukan wawancara antara guru bimbingan konseling dan siswa. Biasanya, kesulitan siswa dalam belajar di kelas karena terlalu berisik mengakibatkan beberapa siswa sulit berkonsentrasi. Ataupun siswa yang mengalami bullying di sekolah oleh temen temen sekelas. Tujuan melakukan wawancara tersebut agar guru tersebut mengerti dan dapat memberi treatment untuk para siswa agar nyaman di kelas. Seringkali, guru BK di sekolah-sekolah kurang koperatif atau terkesan comel terhadap masalah siswa. Di beberapa sekolah ruangan BK terkesan “angker” karena beberapa guru bk yang kurang koperatif dalam menangani siswa atau di SMA saya guru BK menjadi tempat yang kurang di minati dalam menyelesaikan masalah-masalah atau mendengarkan keluh kesah mereka di sekolah. Karena beberapa teman saya menggangap guru BK di sekolah terlalu comel menceritakan masalah siswa ke guru-guru yang lain dan seperti menjadi bahan gossip.
Dalam seting klinis, wawancara adalah senjata paling ampuh dalam mengali masalah klien. Ketika melakukan tugas akhir untuk mata kuliah metode penelitian kualitatif, saya melakukan wawancara tentang self acceptance orang tua yang anaknya mengalami penyakit down syndrome. Subjek terlihat menangis ketika menceritakan perasaanya ketika pertama kali anaknya di vonis mengidap penyakit down syndrome. Dan suaminya memutuskan menceraikanya karena merasa malu dengan penyakit yang di derita oleh anaknya. Nah dari situ, interviewer dapat juga memberikan emotional support untuk subjek bagaimana subjek kuat dalam menerima keadaan. Selain memberikan emotional support pada klien, interviewer juga dapat menemukan kekuatan dan kelemahan klien, menemukan level penyesuaian diri klien, mengenali sebab musabab atau asal usul masalah klien serta mengetahui riwayat pribadi dan keluarga klien. Dalam prakteknya, proses wawancara dalam seminggu sekali dapat di lakukan sekitar 90 menit per sesi. Di lakukan seminggu sekali agar klien dan interviewer tidak mengalami kejenuhan satu sama lain.
Apabila berbicara soal peraturan, tentunya dalam wawancara terdapat peraturan atau kode etik tersendiri. Diantaranya adalah;
1. Memiliki kompetensi. Tentu saja ini adalah elemen utama dalam wawancara adalah seorang interviewer harus memiliki komptensi agar memudahkan dalam mewawancarai orang. Interviewer juga harus menguasai hal-hal yang ingin di tanyakan jadi apabila terdapat hal yang rancu, interviewer dapat menggali lebih dalam. Lalu, apabila kita kurang berkomptensi untuk melakuakan wawancara tersebut kita dapat mengalihkanya ke orang lain (kalo istilahnya bu henny “harus tau diri”
2. Informed consent. Hal yang tidak kalah penting adalah lembar persetujuan atau informed consent. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan kepada klien atau narasumber tentang tujuan dan bagaiman prosedur wawancara yang akan di lakukan. Serta interviewer juga meberitahukan berapa lama durasi dalam melakukan wawancara tersebut. Bila, dalam setting konseling psikoterapi informed consent juga dapat membuat klien memperkirakan berapa biaya yang di butuhkan selama proses konseling.
3. Menjaga kerahasiaan. Tidak kalah penting dengan informed consent, menjaga kerahasiaan juga hal yang sangat penting. Mungkin saja, bila seorang interviewer/psikolog tidak dapat menjaga kerahasaiaan klien. Klien dapat melakukan bunuh diri. Namun, bisa saja seorang interviewer/psikolog memberikan informasi kepada orang lain tentang klien dengan syarat membahayakan nyawa orang lain atau nyawa klien itu sendiri. Selain dari itu, dilarang untuk membongkar rahasia yang di ceritakan oleh klien.
4. Power. Dalam poin ini power yang di maksud adalah hubungan yang seimbang antara klien dengan psikolog/ interviewer. Interviewer harus menghargai keinginan klien dank klien pun harus mengahrgai psikolog/interview misalnya datang dengan tepat waktu pada sesi konseling.
5. Social justice and advocacy. Yang di maksud disini adalah interviewer harus memahami budaya klien agar dapat menggali lebih dalam informasi tentang klien. Serta jangan pernah menyalahkan klien agar tidak merasa bersalah agar klien tidak tambah merasa bersalah atau takut. Misalnya, klien wanita yang menjadi korban perkosaan. Dengan tidak menyalahkan klien, klien dapat lebih terbuka dan interviewer dapat mengali lebih banyak tentang informasi yang di butuhkan
) tentunya memiliki kompetensi yang baik dalam wawancara tidak dapat di kuasai dalam sehari semalam. Butuh jam terbang untuk mengusai teknik wawancara.2. Informed consent. Hal yang tidak kalah penting adalah lembar persetujuan atau informed consent. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan kepada klien atau narasumber tentang tujuan dan bagaiman prosedur wawancara yang akan di lakukan. Serta interviewer juga meberitahukan berapa lama durasi dalam melakukan wawancara tersebut. Bila, dalam setting konseling psikoterapi informed consent juga dapat membuat klien memperkirakan berapa biaya yang di butuhkan selama proses konseling.
3. Menjaga kerahasiaan. Tidak kalah penting dengan informed consent, menjaga kerahasiaan juga hal yang sangat penting. Mungkin saja, bila seorang interviewer/psikolog tidak dapat menjaga kerahasaiaan klien. Klien dapat melakukan bunuh diri. Namun, bisa saja seorang interviewer/psikolog memberikan informasi kepada orang lain tentang klien dengan syarat membahayakan nyawa orang lain atau nyawa klien itu sendiri. Selain dari itu, dilarang untuk membongkar rahasia yang di ceritakan oleh klien.
4. Power. Dalam poin ini power yang di maksud adalah hubungan yang seimbang antara klien dengan psikolog/ interviewer. Interviewer harus menghargai keinginan klien dank klien pun harus mengahrgai psikolog/interview misalnya datang dengan tepat waktu pada sesi konseling.
5. Social justice and advocacy. Yang di maksud disini adalah interviewer harus memahami budaya klien agar dapat menggali lebih dalam informasi tentang klien. Serta jangan pernah menyalahkan klien agar tidak merasa bersalah agar klien tidak tambah merasa bersalah atau takut. Misalnya, klien wanita yang menjadi korban perkosaan. Dengan tidak menyalahkan klien, klien dapat lebih terbuka dan interviewer dapat mengali lebih banyak tentang informasi yang di butuhkan
Setelah saya mempelajari materi teknik wawancara yang di jelaskan oleh ibu henny di pertemuan kedua, saya mendapatkan pengetahuan tambahan tenang dasar-dasar wawancara terutama wawancara dalam setting klinis. Saya menyadari banyak sekali kemampuan kemampuan yang harus saya tingkatkan lagi dalam melakukan wawancara terutama bagi saya yang mempunyai skill komunikasi verbal yang kurang baik. Namun, saya akan terus belajar dan berharap dengan bekal doa dan usaha saya dapat menjadi seorang psikolog klinis yang handal. Di post berikutnya saya akan mebahas tentang teknik teknik keterampilan dalam melakukan wawancara.
26 Sep 2014