Menurut Suharto, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, meliputi:
- Kekerasan secara fisik (physical abuse), yaitu penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Terjadinya kekerasan umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, dan memecahkan barang berharga.
- Kekerasan secara psikologis (psychological abuse), meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film porno. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, dan takut bertemu orang lain.
- Kekerasan secara seksual (sexual abuse), dapat berupa perlakuan kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, dan exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
- Kekerasan secara sosial (social abuse), dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberi perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberi pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak.
Menurut Rusmil penyebab atau resiko terhadinya kekerasan terhadap anak dibagi menjadi 3 faktor, yaitu:
- Faktor orang tua atau keluarga. Faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terhadap anak, diantaranya
- Praktik budaya yang merugikan anak, misalnya
- Kepatuhan anak terhadap orang tua
- Dibesarkan dengan penganiayaan
- Gangguan mental
- Belum mencapai kematangan fisik, emosi, maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun
- Pecandu minuman keras dan obat
- Faktor lingkungan sosial atau komunitas
- Kemiskinan dan tekanan materialistis
- Kondisi sosial ekonomi yang rendah
- Adanya nilai masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri
- Status wanita yang dipandang rendah
- Sistem keluarga patriarkal
- Nilai masyarakat yang terlalu individualistis
- Faktor anak itu sendiri
- Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak terhadap lingkungannya
- Perilaku menyimpan pada anak
Dampak Kekerasan terhadap Anak
Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam hidupnya dan akan berdampak sangat serius pada kehidupannya di kemudian hari, antara lain (Huraerah, 2007):
- Cacat tubuh permanen;
- Kegagalan belajar;
- Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian;
- Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain;
- Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain;
- Agresif dan terkadang dapat melakukan tindakan kriminal;
- Menjadi penganiaya ketika dewasa;
- Menggunakan obat-obatan atau alkohol; dan
- Kematian.
Strategi Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak
Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, sebagai berikut (Huraerah, 2012):
- Child based services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis pertama penerima pelayanan. Anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis perlu segera diberikan pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling, atau dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya.
- Institutional based services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga atau panti. Pelayanan yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.
- Family based service. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis, dan sosial dalam menumbuhkembangkan anak sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak.
- Community based services. Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi kampanye sosial, aksi sosial, serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.
- Location based services. Pelayanan yang diberikan di lokasi anak mengalami masalah. Strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi tempat-tempat anak berada dan memanfaatkan sarana yang ada di sekitarnya sebagai fasilitas dan media pertolongan.
- Half-way services. Strategi ini disebut juga strategi semi-panti yang lebih terbuka dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, atau rumah belajar. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah.
- State based services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung. Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terlaksananya usaha kesejahteraan sosial bagi anak.
30 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar