Halo teman-teman...
Kembali lagi saya Miyunda Anastasia Wijaya Kusuma, ingin menulis blog mengenai pengalaman menjadi pewawancara, klien, dan observer pada 3 setting yaitu pendidikan, industri organisasi (PIO), dan klinis...
Saya mendapatkan pengalaman yang berharga dari 3 setting tersebut. Ketika saya menjadi klien, mungkin saya berusaha sebaik mungkin untuk membantu pewawancara (baca: teman saya). Wwkwk.... Saya berusaha untuk memikirkan jawaban yang pas dan dapat membantu pewawancara untuk mendapatkan informasi lebih kaya. Selanjutnya, ketika saya menjadi klien saya berusaha untuk tampil layaknya seorang klien, seperti menampilkan ekspresi wajah marah, gembira, dan sebagainya sesuai dengan situasi topik wawancara itu. Menjadi klien adalah hal yang cukup unik, menarik, dan menantang. Setidaknya, ya mencoba untuk belajar akting mungkin (*cita-cita belum tercapai) wkwkwk...
Okay, yuk masuk ke pengalaman berharga menjadi pewawancara. Menurut saya, inilah bagian yang terpenting dari proses praktikum kemarin. Pewawancara merupakan tugas yang cukup berat dan bikin dag-dig-dug. Untungnya, saya sudah menguasai pedoman wawancara itu sebelumnya. Jadi, saya bisa membuat wawancara menjadi tidak kaku dan ceritanya mengalir (tidak hanya terpaku pada pedoman saja). Hmm, yang saya khawatirkan adalah takut lupa, hehe... Mau tidak mau ya kemampuan probing saya keluarkan. Ya, menjadi pewawancara itu menantang dan sangat menarik. Disini, kita dapat melatih keterampilan dasar wawancara yang sudah diajarkan di kelas... Apa aja hayo?? Pertama, tentunya bagaimana cara kita membina rapport dengan klien. Rapport dapat dijalin dengan berbagai hal seperti tersenyum, sambutan bersahabat, berjabat tangan, melakukan percakapan kecil, dan sebagainya. Rapport itu langkah awal yang sangat penting karena ketika kita mampu membangun rapport dengan baik, artinya kita mampu membuat suasana / atmosfer wawancara menjadi hangat dan nyaman. Sehingga, klien lebih jujur dan terbuka dalam membicarakan masalahnya. Keterampilan kedua, tentunya pewawancara harus membangun empati yaitu kita dapat merasakan apa yang dirasakan klien, memahami apa yang terjadi pada klien, dan kita benar-benar berfokus pada klien sepanjang waktu. Keterampilan, adalah attending behavioryang terdapat empat aspek di dalamnya yaitu visual, kualitas suara, verbal tracking, dan bahasa tubuh. Selanjutnya, ada beberapa keterampilan lainnya yang dibutuhkan di dalam wawancara seperti keterampilan bertanya, keterampilan mengobservasi, dan active listening skills yang terdiri dari encouraging, paraphrasing dan reflection of feeling, serta summarizing.
Wah banyak bangettt ya keterampilan yang dibutuhkan...
Tentu saja, menjadi pewawancara yang handal tidak hanya sekedar butuh pengetahuan, dan keterampilan. Tetapi, butuh kreativitas juga untuk melakukan wawancara karena wawancara itu seni lho...
Kalau pengalaman paling menarik saat menjadi pewawancara saat saya menjadi pewawancara disetting pendidikan.. Hehehe... (tambahan: soalnya topiknya menarik banget, dan kliennya juga oke banget jawabnya). Masalah yang dihadapi oleh klien juga sangat menantang, sehingga saya harus pintar-pintar mengatur pertanyaan wawancara agar dapat menggali informasi dengan baik. Kalau dua setting lainnya yaitu PIO dan Klinis juga cukup menarik, tetapi tidak seheboh dan semenarik yang di bidang pendidikan. Eh, sampai observer saja tertawa lho dari luar saat saya melakukan wawancara bidang pendidikan ini.... (lucu kali ye...)
Yuk, masuk ke topik terakhir. Kalau kesan-kesan menjadi observer sih, sangat menarik dan melatih atau mengasah kemampuan observasi kita tentunya. Saya berusaha untuk mengobservasi pewawancara seobyektif mungkin dan mencoba mengaitkannya dengan keterampilan dasar wawancara yang telah diajarkan di kelas. Contoh, saya melihat pewawancara, apakah ia membinarapport dengan baik, bagaimana respons empatinya, aspek attending behavior yang ia kuasai, kemampuan bertanyanya seperti apa, dan melihat kemampuan active listening-nya (encouraging, paraphrasing and reflection of feelings, serta summarizing-nya). Saat mengobservasi, saya mendapatkan tempat observasi yang cukup baik karena dapat mendengarkan wawancaranya. Saya merasa senang saat mengobservasi karena terkadang saya tidak fokus memperhatikan pewawancara sepanjang waktu. Akan tetapi, sesekali saya juga memperhatikan ekspresi dari klien (*dalam hati tertawa terbahak-bahak).
Praktikum menjadi klien, pewawancara, dan observer sangat penting dan sangat berharga untuk kita semua. Terimakasih kepada Ibu Henny Wirawan dan Ci Tasya yang telah membimbing kami selama satu semester ini dengan sangat sabar dan baik. Kami mendapatkan banyak ilmu dari kelas Teknik Wawancara ini. Selain itu, ide mengenai praktikum harus dipertahankan ya. Sebab, kalau hanya belajar teori saja di kelas, kita tidak akan belajar untuk praktik secara nyata. Pengalaman adalah hal yang berharga seperti yang saya katakan di blog-blog sebelumnya. Latihan juga sangat bernilai untuk meningkatkan kemampuan kita. Jadi, jangan pernah berhenti untuk belajar dan selalu tekun, pantang menyerah.
Saya mendapatkan pengalaman yang berharga dari 3 setting tersebut. Ketika saya menjadi klien, mungkin saya berusaha sebaik mungkin untuk membantu pewawancara (baca: teman saya). Wwkwk.... Saya berusaha untuk memikirkan jawaban yang pas dan dapat membantu pewawancara untuk mendapatkan informasi lebih kaya. Selanjutnya, ketika saya menjadi klien saya berusaha untuk tampil layaknya seorang klien, seperti menampilkan ekspresi wajah marah, gembira, dan sebagainya sesuai dengan situasi topik wawancara itu. Menjadi klien adalah hal yang cukup unik, menarik, dan menantang. Setidaknya, ya mencoba untuk belajar akting mungkin (*cita-cita belum tercapai) wkwkwk...
Okay, yuk masuk ke pengalaman berharga menjadi pewawancara. Menurut saya, inilah bagian yang terpenting dari proses praktikum kemarin. Pewawancara merupakan tugas yang cukup berat dan bikin dag-dig-dug. Untungnya, saya sudah menguasai pedoman wawancara itu sebelumnya. Jadi, saya bisa membuat wawancara menjadi tidak kaku dan ceritanya mengalir (tidak hanya terpaku pada pedoman saja). Hmm, yang saya khawatirkan adalah takut lupa, hehe... Mau tidak mau ya kemampuan probing saya keluarkan. Ya, menjadi pewawancara itu menantang dan sangat menarik. Disini, kita dapat melatih keterampilan dasar wawancara yang sudah diajarkan di kelas... Apa aja hayo?? Pertama, tentunya bagaimana cara kita membina rapport dengan klien. Rapport dapat dijalin dengan berbagai hal seperti tersenyum, sambutan bersahabat, berjabat tangan, melakukan percakapan kecil, dan sebagainya. Rapport itu langkah awal yang sangat penting karena ketika kita mampu membangun rapport dengan baik, artinya kita mampu membuat suasana / atmosfer wawancara menjadi hangat dan nyaman. Sehingga, klien lebih jujur dan terbuka dalam membicarakan masalahnya. Keterampilan kedua, tentunya pewawancara harus membangun empati yaitu kita dapat merasakan apa yang dirasakan klien, memahami apa yang terjadi pada klien, dan kita benar-benar berfokus pada klien sepanjang waktu. Keterampilan, adalah attending behavioryang terdapat empat aspek di dalamnya yaitu visual, kualitas suara, verbal tracking, dan bahasa tubuh. Selanjutnya, ada beberapa keterampilan lainnya yang dibutuhkan di dalam wawancara seperti keterampilan bertanya, keterampilan mengobservasi, dan active listening skills yang terdiri dari encouraging, paraphrasing dan reflection of feeling, serta summarizing.
Wah banyak bangettt ya keterampilan yang dibutuhkan...
Tentu saja, menjadi pewawancara yang handal tidak hanya sekedar butuh pengetahuan, dan keterampilan. Tetapi, butuh kreativitas juga untuk melakukan wawancara karena wawancara itu seni lho...
Kalau pengalaman paling menarik saat menjadi pewawancara saat saya menjadi pewawancara disetting pendidikan.. Hehehe... (tambahan: soalnya topiknya menarik banget, dan kliennya juga oke banget jawabnya). Masalah yang dihadapi oleh klien juga sangat menantang, sehingga saya harus pintar-pintar mengatur pertanyaan wawancara agar dapat menggali informasi dengan baik. Kalau dua setting lainnya yaitu PIO dan Klinis juga cukup menarik, tetapi tidak seheboh dan semenarik yang di bidang pendidikan. Eh, sampai observer saja tertawa lho dari luar saat saya melakukan wawancara bidang pendidikan ini.... (lucu kali ye...)
Yuk, masuk ke topik terakhir. Kalau kesan-kesan menjadi observer sih, sangat menarik dan melatih atau mengasah kemampuan observasi kita tentunya. Saya berusaha untuk mengobservasi pewawancara seobyektif mungkin dan mencoba mengaitkannya dengan keterampilan dasar wawancara yang telah diajarkan di kelas. Contoh, saya melihat pewawancara, apakah ia membinarapport dengan baik, bagaimana respons empatinya, aspek attending behavior yang ia kuasai, kemampuan bertanyanya seperti apa, dan melihat kemampuan active listening-nya (encouraging, paraphrasing and reflection of feelings, serta summarizing-nya). Saat mengobservasi, saya mendapatkan tempat observasi yang cukup baik karena dapat mendengarkan wawancaranya. Saya merasa senang saat mengobservasi karena terkadang saya tidak fokus memperhatikan pewawancara sepanjang waktu. Akan tetapi, sesekali saya juga memperhatikan ekspresi dari klien (*dalam hati tertawa terbahak-bahak).
Praktikum menjadi klien, pewawancara, dan observer sangat penting dan sangat berharga untuk kita semua. Terimakasih kepada Ibu Henny Wirawan dan Ci Tasya yang telah membimbing kami selama satu semester ini dengan sangat sabar dan baik. Kami mendapatkan banyak ilmu dari kelas Teknik Wawancara ini. Selain itu, ide mengenai praktikum harus dipertahankan ya. Sebab, kalau hanya belajar teori saja di kelas, kita tidak akan belajar untuk praktik secara nyata. Pengalaman adalah hal yang berharga seperti yang saya katakan di blog-blog sebelumnya. Latihan juga sangat bernilai untuk meningkatkan kemampuan kita. Jadi, jangan pernah berhenti untuk belajar dan selalu tekun, pantang menyerah.
26 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar