Tampilkan postingan dengan label keluarga disharmonis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keluarga disharmonis. Tampilkan semua postingan
Senin, 05 November 2012
Keluarga Disharmonis *Alex Valentino - 705120028)
Keluarga merupakan tempat setiap individu memulai kehidupannya. Mengawali dan tumbuh berkembang menjadi individu yang lebih dewasa, baik secara fisik maupun psikologis. (Wilis, 2008) “Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter pada setiap individu”, namun apa yang terjadi bila tidak adanya keselarasan atau disharmonis di dalam keluarga tersebut. Secara garis singkat, akan timbul berbagai problematika didalamnya. Dalam artikel ini penulis akan menjabarkan definisi keluarga disharmonis, faktor-faktor penyebab terjadinya keluarga disharmonis, serta dampak apa saja yang diakibatkan oleh kondisi keluarga disharmonis berikut dengan saran-saran yang diharapkan dapat diterapkan sebagai solusi dalam kondisi keluarga disharmonis.
Sebelum penulis mendefinisikan arti dari keluarga disharmonis, perlu diketahui terlebih dahulu apa definisi dari kedua kata tersebut baik keluarga dan disharmonis. Secara epistemologi, definisi keluarga menurut Duvall dan Logan (1986) “keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga”. Selain itu menurut Departemen Kesehatan RI (1988) “keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan”. (“Arti Disharmoni,” 2012) definisi dari dishamonis menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah “kejanggalan atau ketidakselarasan.”
Dari kedua definisi mengenai keluarga dan dishamonis tersebut penulis menarik sebuah kesimpulan mengenai keluarga dishamonis, yaitu kondisi dimana terjadinya ketidakselarasan di antara hubungan antara anggota keluarga yang berakibat pada bermasalahnya perkembangan mental, emosional, serta sosial dari setiap anggota keluarga.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluarga disharmonis. Menurut Nurohman (2012) menyatakan bahwa “terdapat berbagai jenis faktor yang menyebabkan terjadinya keluarga disharmoni. Hal tersebut dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu faktor internal dan faktor eksternal”. Faktor internal yang sangat umum ditemui dari beberapa kasus keluarga disharmoni diantaranya adalah ketidakdewasaan sikap orang tua. Ketidakdewasaan sikap orang tua salah satunya dilihat dari sikap egoisme dan egosentrime. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan oleh seseorang dengan segala cara. Pada seseorang yang memiliki sifat seperti ini mengartikan orang lain tidaklah penting. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri dan bagaimana menarik perhatian pihak lain agar mengikuti kemauannya. Hal ini dapat berakibat pada respon kurang baik dari orang lain yang bertentangan dengannya. Sebagai contoh adalah pertengakran yang terjadi antara suami dengan istri dengan sifat egoisme dan egosentrime tinggi, yang tidak memperdulikan kondisi tertentu, yang berakibat pada terlihatnya pertengkaran orang tua lagsung oleh anak-anaknya. Hal ini adalah suatu contoh yang buruk yang diberikan oleh keduanya. (“Keluarga Tidak Harmonis,” 2008) Egoisme orang tua akan berdampak kepada anaknya, yaitu timbulnya sifat membandel, sulit mendengarkan kata-kata orang tua dan memiliki kecenderungan emosi yang tinggi. Adapun sikap emosional ini adalah aplikasi dari rasa marah terhadap orang tua yang egosentrisme.
Orang tua yang kurang memiliki rasa tanggung jawab juga merupakan salah satu faktor internal penyebab terjadinya keluarga disharmonis. “Ketidak tanggung jawaban orang tua salah satunya adalah masalah kesibukan” (Willis, 2008). Kesibukan adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern. Kesibukan yang terfokus pada pencarian materi yaitu harta dan uang. Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi ini sering membuat mereka melupakan tanggung jawabnya sebagai orang tua. ”Hal ini yang akan bedampak pada pola asuh yang kurang baik terhadap anak-anaknya.” (Nurohman, 2012)
Selain faktor internal, terdapat juga faktor eksternal yang menyebabkan keluarga disharmonis. Salah satu penyebab eksternal yang paling umum adalah masalah ekonomi. Dalam suatu keluarga, ketidakseimbangan kebutuhan dan pemasukan ekonomi dapat sangat berpengaruh pada kerharmonisan keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Sebagai contoh, ketika banyak kebutuhan lain menuntut hal-hal diluar kebutuhan pokok seperti televisi, kendaraan, dan pembayaran uang sekolah. Sedangkan penghasilan yang didapatkan hanya dapat memberikan beberapa kebutuhan pokok. Akan tetapi terdapat beberapa kebutuhan yang sulit dihindari karena tuntuntan zaman yang tidak dapat di bendung. Maka timbulah pertengkaran dan saling menuntut antar anggota keluarga antara suami dengan istri atau orang tua dengan anak-anaknya.
Ketidakharmonisan keluarga pada umumnya berakhir pada perceraian. Namum dampak yang ditimbulkan bukan hanya pada keluarga secara langsung, namun terdapat anggota keluarga yang sangat terkena dampak secara emosional dan psikologis, yaitu pada anak-anak dalam keluarga tersebut. Dalam bukunya Willis (2008) terpapar beberapa dampak yang dialami oleh seorang anak akibat dari ketidakharmonisan keluarga.
Beberapa problematika yang dihadapi diantaranya adalah dalam pendidikan. Seorang yang mengalami kurangnya keharmonisan dalam keluarga akan sulit mendapatkan motivasi dalam belajar. Hal ini berujung pada kegagalan pendidikan. Selain itu akan muncul juga berhavioral problem. Sifat memberontak dan ketidakpedulian terhadap segala sesuatu yang terjadi disekelilingnya. Hal ini ia tunjukan dengan latar belakang merasakan bahwa kedua orang tuanya yang juga tidak mempedulikan dia. Sexual dan spiritual problem juga akan meliputi tingkah laku dan pola berfikirnya.
Sebagai penutup, penulis menarik kesimpulan bahwa, pada dasarnya, kondisi keluarga disharmonis ini dapat dicegah dengan berbagai hal. Seperti, adanya komunikasi dua arah yang baik antar anggota keluarga. Keterbukaan dan saling menghargai sesama anggota keluarga, baik suami dengan istri ataupun orang tua dengan anak-anaknya, tanpa mementingkan sifat egoism dan egosentris. Kedewasaan orang tua juga sangat dibutuhkan dalam mendidik anak-anaknya dan menjalankan rumah tangga. Hal ini berpedoman kepada definisi dari keluarga itu sendiri yaitu wadah untuk perkembangan mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga dengan saling keterkaitan dan ketergantunggan satu sama lainnya.
Daftar pustaka:
Willis, S. 2008. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung :
Alfabeta.
Keluarga Tidak Harmonis. (2008). Diunduh dari
http://atriel.wordpress.com/2008/04/08/broken-home/
Duvall, & Logan. (2011). Definisi Keluarga. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/45726686/DEFINISI-KELUARGA
Arti Disharmoni. (2012). Diunduh dari http://www.elbirtus.info/2012/09/arti-
disharmoni.html
Nurrohman, M. W. (27 April, 2011). Broken home. Diunduh dari
http:// wahid07.wordpress.com/2011/04/278/e-book
26 Oktober 2012
Keluarga Disharmonis (Aldi Leonardus - 705120087)
Pengertian Keluarga Disharmonis
Keluarga Disharmonis adalah “kondisi retaknya struktur peran sosial dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka sebagaimana mestinya” (Goode, 2011).
Penyebab Terjadinya Keluarga Disharmonis
"Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga
merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan
puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi
diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga" (Gunarsa, 1995). Hal-hal seperti fisik, mental, emosi dan sosial tersebut erat kaitannya dengan fungsi-fungsi keluarga itu sendiri. Menurut (Soelaeman, n.d.), keluarga memiliki berbagai fungsi diantaranya: (a) Fungsi Edukatif: Sebagai unsur dari tingkat pusat pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Dalam kedudukan ini, adalah suatu kewajaran apabila kehidupan keluarga sehari-hari, pada saat-saat tertentu terjadi situasi pendidikan yang dihayati oleh anak dan diarahkan pada perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan tujuan pendidikan; (b) Fungsi Sosialisasi: Melalui interaksi dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita serta nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka pengembangan kepribadiannya. Dalam rangka melaksanakan fungsi sosialisasi ini, keluarga mempunyai kedudukan sebagai penghubung antara anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial yang meliputi penerangan, penyaringan dan penafsiran ke dalam bahasa yang dimengerti oleh anak; (c) Fungsi Protektif: Fungsi ini lebih menitik beratkan dan menekankan kepada rasa aman dan terlindungi, apabila anak merasa aman dan terlindungi barulah anak dapat bebas melakukan penjagaan terhadap lingkungan; (d) Fungsi Afeksional: Yang dimaksud dengan fungsi afeksi adalah adanya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Anak biasanya mempunyai kepekaan tersendiri atau iklim-iklim emosional yang terdapat dalam keluarga kehangatan yang terpenting bagi perkembangan kepribadian anak; (e) Fungsi Religius: Keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak serta keluarga pada kehidupan beragama. Sehingga melalui pengenalan ini diharapkan keluarga dapat mendidik anak serta anggotanya menjadi manusia yang beragama sesuai dengan keyakinan keluarga tersebut; (f) Fungsi Ekonomis: Fungsi keluarga ini meliputi pencarian nafkah perencanaan dan pembelanjaanya. Pelaksanaanya dilakukan oleh dan untuk semua anggota keluarga, sehingga akan menambah saling mengerti solidaritas dan tanggung jawab bersama; (g) Fungsi Rekreatif: Suasana keluarga yang tentram dan damai diperlukan guna menggembalikan tenaga yang telah dikeluarkan dalam kehidupan sehari-hari; (h) Fungsi Biologis: Fungsi ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis keluarga, diantaranya kebutuhan seksual. Kebutuhan ini berhubungan dengan pengembangan keturunan atau keinginan untuk mendapatkan keturunan. Selain itu juga termasuk dalam fungsi biologis ini yaitu perlindungan fisik seperti kesehatan jasmani dan kebutuhan jasmani yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan akan mempengaruhi kepada jasmani setiap anggota keluarga.
Apabila fungsi-fungsi tersebut tidak dijalankan dengan baik, besar kemungkinan akan timbulnya keluarga yang tidak harmonis.
Ciri-Ciri Keluarga Disharmonis
Setelah kita melihat fungsi-fungsi dan ciri-ciri keluarga di atas. Dapat disimpulkan bahwa ciri dari keluarga disharmonis yang paling menonjol adalah pudarnya berbagai fungsi keluarga dalam keluarga tersebut.
Misalkan, keluarga tersebut kehilangan fungsi sosialisasi. Tidak ada komunikasi antar anggota keluarga menyebabkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga yang pada akhirnya dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada konflik.
Apabila keluarga kehilangan fungsi afeksional, setiap anggota keluarga akan merasa kurang dikasihi oleh anggota keluarga lainya yang dapat mengakibatkan rusaknya hubungan kasih antar anggota keluarga.
Dampak Keluarga Disharmonis
Apabila suatu keluarga tidak harmonis, akan berakibat fatal dalam keluarga tersebut seperti: (a) Sering terjadinya konflik antar anggota keluarga, (b) Perceraian akibat konflik yang terus terjadi dan tidak dapat teratasi dengan baik, (c) Anak menjadi stress karena hubungan orang tuanya tidak baik (Broken home)
Penanggulangan Keluarga Disharmonis
Tentu saja dengan kita melihat ciri daripada keluarga disharmonis yaitu pudarnya fungsi-fungsi dalam keluarga tersebut, kita harus kembali menjalankan, bahkan mempertahankan fungsi-fungsi tersebut dengan baik.
Daftar Pustaka
Pengertian keluarga disharmonis. (2011). Diunduh dari
http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2204607-pengertian-keluarga-
disharmonis/
Gunarsa. (1995). Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23613/4/Chapter%20I.pdf
Soelaeman. n.d. Diunduh dari http://unsilster.com/2012/04/pengertian-keluarga-dan-
fungsi-keluarga/
27 Oktober 2012
Keluarga Disharmoni Mencapai Hubungan Keluarga Yang Harmoni (Phendy A. Saputra - 705120054)
Definisi Keluarga Disharmoni
Keluarga pada awalnya akan terbentuk melalui suatu pernikahan antara pria dan wanita pada umumnya. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) pernikahan adalah penyatuan antara pria dan wanita pada umumnya yang secara legal diakui dan bekerjasama dalam keuangan, serta memberikan keturunan, mengadopsi, dan mengasuh anak.
Dari pernikahan tersebut, terbangunlah suatu keluarga. The U.S. Cencus Bureau (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011) mendefinisikan keluarga sebagai, “a group of two or more persons related by birth, marriage, or adoption and residing together in a household.”
Dalam proses perkembangan hubungan keluarga yang tidak baik akan menyebabkan suatu kesenjangan dalam keluarga yang disebut sebagai keluarga disharmoni.
Faktor-faktor Penyebab Keluarga Disharmoni
Faktor-faktor yang menyebabkan sebuah keluarga menjadi tidak harmoni atau disharmoni dapat berasal dari lingkungan keluarga, kerja, maupun sosial.
Lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga, peran ayah, ibu, dan anak saling berperan dan memiliki tanggung-jawab masing-masing. Akan tetapi, kurangnya pendekatan dalam berkomunikasi dalam sebuah keluarga, akan memberikan dampak yang tidak baik.
Konflik suami dan istri. Hubungan yang sering terjadi adalah kurangnya pendekatan antara suami dan istri sehingga tidak jarang konflik dalam suatu hubungan keluarga menjadi tidak harmonis.
Basic conflicts. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) menjelaskan bahwa, “basic conflicts revolve around carrying out martial roles and the functions of marriage and the family, such as providing companionship, working, and rearing children.”
Nonbasic conflicts. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) nonbasic conflicts tidak melukai hati dari sebuah hubungan.
Kecemburuan. Dalam suatu hubungan, pencapaian kesenangan atau kebahagiaan tidak selalu berjalan dengan lancar. Kecemburuan maupun rasa yang tidak aman dapat memberikan dampak yang tidak baik dalam suatu hubungan. Seperti yang diuraikan oleh Bringle dan Buunk dan Sharpsteen (dikutip dalam Strong, DeVault, dan Cohen, 2011), “jealousy is an aversive response that occurs because of a partner’s real, imagined, or likely involvement with a third person.”
Pengaruh Pekerjaan Terhadap Keluarga. Seorang ayah pada umumnya akan memberikan tanggung-jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Akan tetapi, pada perkembangan jaman ini, seorang ibu akan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga. Hal ini dapat menyebabkan banyaknya waktu yang dipakai untuk bekerja dalam satu hari, yang akan berdampak pada lingkungan keluarga. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) efek yang terjadi pada individual-individual dan keluarga-keluarga, sangat mengurangi tingkat energi dan waktu sehingga menyebabkan dampak pada psikologis mereka yang disebut dengan work spillover. Dampak psikologis tersebut dapat mempengaruhi suatu hubungan yang harmonis.
Dampak-dampak Keluarga Disharmoni
Konflik-konflik yang terjadi dalam suatu keluarga disharmoni, akan menyebabkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan mental (pikologis), fisik, dan kesejahteraan anak.
Kesehatan psikologis. Salah satu dampak yang sering terjadi adalah adanya ketidakseimbangan mental. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011), konflik dalam perkawinan memiliki hubungan dengan depresi, kekacauan pola makan, adanya kekerasan baik berupa fisik dan/ atau psikologis terhadap pasangan, dan masalah pemakaian alkohol pada pria (seperti minum yang berlebih, mabuk-mabukan, dan menjadi pecandu alkohol).
Kesehatan fisik. Dampak dari konflik-konflik dalam keluarga disharmoni dapat berpengaruh pada kesehatan fisik tertentu. Seperti yang disebutkan oleh Strong, DeVault, dan Cohen (2011), penyakit-penyakit yang timbul berupa kanker, sakit jantung, dan sakit kronis.
Kesejahteraan anak. Penting bagi orangtua untuk memperhatikan dampak-dampak yang terjadi ketika adanya konflik antara suami dan istri di hadapan anak-anak. Lindsey, Caldera, dan Tankersley (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011) menjelaskan,
Research reveals numerous problematic effects of marital conflict on children,
including health problems, depression, anxiety, conduct problems, and low
self-esteem. When the marital conflict is frequent, intense, and child centered,
it has especially negative consequences for children. Peer relations also suffer
when children have insecure parental attachment and can be observed in
children as young as three years old.
Strategi Dalam Menyelesaikan Konflik-konflik
Konflik-konflik yang terjadi seringkali membuat beberapa pasangan merasa bingung dengan apa yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan pemecahan-pemecahan konflik-konflik yang mereka hadapi. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengakhiri konflik-konflik tersebut. “Strategi-strategi pemecahan konflik yang kurang produktif meliputi coercion (mengancam, menyalahkan, dan sarkasme), manipulation (mencoba untuk membuat pasangan merasa berdosa), dan avoidance” Regan (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011).
Sedangkan, “strategi-strategi yang lebih positif untuk menyelesaikan konflik-konflik meliputi mendukung pasangan Anda (melalui mendengar secara aktif, kompromi, atau kesepakatan), assertion (secara jelas menempatkan posisi Anda dan menempatkan pembicaraan pada topik), dan reason (pemakaian agumen yang rasional dan pertimbangan yang alternatif-alternatif)” Regan (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011).
Komunikasi yang efektif. Ketika Anda ingin menyampaikan pendapat atau maksud Anda, katakanlah. “Communication is the basis for good relationships. Communication and intimacy are reciprocal: communication creates intimacy, and intimacy in turn helps create good communication” (Strong, DeVault, & Cohen, 2011).
Mencari bantuan konseling. Penanganan konflik-konflik seringkali menjadi berat ketika tidak adanya jalan keluar yang tepat. Oleh sebab itu, mencari bantuan dari seorang konselor sangatlah membantu Anda, terutama konselor yang ahli dalam permasalahan keluarga. “A skilled counselor offers objective, expert, and discreet help. Much of what counselors do is crisis or intervention oriented” Strong, DeVault, dan Cohen, 2011).
Ahli-ahli yang bekerja dalam meberikan penanganan profesional terhadap konflik-konflik yang dihadapi dalam keluarga disharmoni tergolong dalam beberapa profesi menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011), sebagai berikut:
1. Psychiatrists are licensed medical doctores who, in addition to completing at least six years of postbaccalaureate medical and psychological training, can prescribe medication.
2. Clinical psychologist have usually completed a PhD, which requires at least six years of postbaccalaureate course work. A license requires additional training and the passing of state boards.
3. Marriage and family counselors typically have a master’s degree and additional training to be eligible for state board exams.
4. Social workers have master’s degree requiring at least two years of graduate study plus additional training to be eligible for state board exams.
5. Pastoral counselors are clergy who have special training in addition to their religious studies.
Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011), pertimbangan keuangan akan berpengaruh pada pemilihan ahli.
Harmoni Dalam Keluarga
Perkawinan yang sukses tidak hanya meberikan kebahagiaan untuk pasangan saja, tetapi juga memberikan keharmonisan yang utuh bagi suatu keluarga. Menurut Sadarjoen (2006), karakteristik dari perkawinan yang sukses adalah:
1. Komitmen yang terjaga.
2. Kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan.
3. Rasa tanggungjawab.
4. Kesediaan untuk menyesuaikan diri.
5. Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk kehidupan seksual.
6. Mempertimbangkan keinginan pasangan.
7. Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar pasangan.
8. Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta kasih penuh afeksi.
9. Pertemanan yang nyaman antar pasangan.
10. Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi dalam kebersamaan.
11. Menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan perkawinan dan keturunannya.
Daftar Pustaka
Sadarjoen, S. S. (2006). Membangun keluarga bahagia. Diunduh dari
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/MEMBANGUN%20KELUARGA%20BAHAGIA.pdf
Strong, B., DeVault, C., & Cohen, T. F. (2011). The marriage and family
experience: Intimate relationships in a changing society (11th ed.). Belmont,
CA: Wadsworth Cengage Learning.
26 Oktober 2012
Maraknya Keluarga Disharmoni Zaman Ini (Ridwan - 705120042)
Zaman sekarang makin banyak terjadi keluarga disharmoni di Indonesia ini, khususnya pada keluarga-keluarga yang jarang berkomunikasi karena sibuk bekerja sehingga terjadinya masalah-masalah dalam keluaga. Jika terjadi keluarga disharmoni maka bisa menyebabkan perpecahan dalam keluarga, bahkan perceraian.
Definisi Keluarga Disharmoni
Keluarga Disharmoni adalah keadaan di mana tidak adanya kerukunan dalam sebuah keluarga yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu sehingga terjadi konflik di dalam keluarga.
Penyebab Keluarga Disharmoni
Keluarga Disharmoni sering terjadi dibeberapa keluarga, dan biasa disebabkan oleh beberapa hal yakni ketidakpuasan, ketidakpercayaan, kecemburuan, bosan dengan pasangan, dan saling tidak menghargai.
Ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini biasanya adalah dalam hal hubungan seksual. Banyaknya suami istri yang menganggap hubungan seksual hanyalah sebagai hal formalitas, dan hanya untuk kepuasan seorang saja membuat banyak disharmoni keluarga.
Ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan sering kali dialami banyak keluarga. Banyak suami yang tidak percaya kepada istrinya jika dia menceritakan suatu hal rahasia, dan juga sebaliknya banyak juga istri yang tidak percaya kepada suaminya, sehingga mereka memendam rahasia itu sendiri. Ketidakpercayaan ini sering kali berkaitan dengan ketidakpuasan dalam hal seksual. Biasanya suami atau istri tidak percaya kepada pasangannya jika mereka menceritakan tentang ketidakpuasannya dalam hal seksual. Sehingga mereka memendam rasa ketidakpuasannya itu karena mereka tidak percaya pada pasangannya bahwa pasangannya akan mencoba untuk memuaskan mereka. Mereka berpikir bahwa pasangan mereka hanya akan memikirkan kepuasan sendiri. Ketidakpercayaan juga biasanya terjadi pada suami atau istri yang takut untuk menceritakan sesuatu hal rahasia miliknya, contohnya masa lalunya. Mereka takut jika mereka menceritakannya maka pasangan mereka akan meninggalkannya karena masa lalunya. Seperti pada film Deception yang diliris pada tahun 1946, yang menceritakan Christine Radcliffe, membunuh seorang pria yang berhubungan dengannya karena ia ingin menikahi pria yang dulu ia kenal dan cintai yang telah kembali dari Eropa. Ia membunuh pria yang berhubungan dengannya itu karena ia takut suaminya akan meninggalkannya jika tau akan hal tersebut. Ia tidak percaya kepada suaminya bahwa suaminya akan tetap mencintainya jika suaminya mengetahui hal itu (Richo, 2010, p. 84).
Kecemburuan. Kecemburuan biasanya terjadi pada pasangan yang kurang berinteraksi, sehingga suami atau istri cemburu saat pasangannya berkomunikasi dengan lawan jenisnya. Kecemburuan dapat menyebabkan hal yang buruk, sampai-sampai bisa menyebabkan perceraian karena sang suami atau istri berpikir mereka tidak dicintai oleh pasangannya.
Bosan dengan pasangan. Hal ini biasa terjadi pada pasangan suami istri yang telah menikah untuk waktu yang lama. Biasanya terjadi karena kurangnya komunikasi diantara pasangan, dan juga kurangnya hal-hal romantis dalam hubungan itu. Jika dalam hubungan itu tidak ada hal-hal romantis, hanya hal-hal yang biasa saja seperti kehidupan sehari-hari maka pasangan tersebut akan merasakan kebosanan.
Saling tidak menghargai. Saling tidak menghargai antara pasangan dapat menyebabkan disharmoni keluarga. Karena biasanya jika tidak menghargai pasangannya dan hanya memaksakan pendapat seorang diri saja, maka sang pasangan akan menimbulkan rasa malas dan berpikir pasangannya adalah orang yang egois.
Akibat Keluarga Disharmoni
Keluarga Disharmoni biasanya menimbulkan beberapa dampak, diantaranya dampak terhadap hubungan itu sendiri dan juga dampak terhadap anak mereka.
Dampak terhadap hubungan. Jika terjadi disharmoni keluarga terus menerus akan memberikan dampak terhadap hubungan itu sendiri.
Perceraian. Perceraian akan terjadi jika dalam keluarga tersebut hanya ada pertengkaran, ketidakpercayaan, ketidakpuasan dan kecemburuan yang berlangsung terus menerus.
Perselingkuhan. Perselingkuhan ini biasanya disebabkan oleh kecemburuan yang terus menerus dan juga bosan akan pasangannya, sehingga mereka mencari orang lain untuk menjadi tempat meluapkan cintanya yang baru.
Dampak terhadap anak. Jika disharmoni keluarga terjadi, maka akan menimbulkan dampak yang buruk bagi anak, dan anak mungkin akan menjadi susah diatur.
Malas belajar. Anak yang tinggal dikeluarga tidak harmonis, biasanya menyebabkan anak tersebut menjadi malas belajar. Karena anak itu kurang perhatian dari orang tuanya, sehingga anak tersebut menjadi tidak memikirkan masa depannya.
Menggunakan narkoba. Anak yang berada dalam keluarga yang selalu bertengkar, akan mengakibatkan anak tersebut menjadi depresi dan mereka akan tidak terperhatikan sehingga mereka menggunakan narkoba untuk mengatasi depresi tersebut.
Cara Mencegah Keluarga Disharmoni
Saling terbuka. Jika dalam hubungan ada perilaku saling terbuka, maka hubungan itu akan harmonis. Karena jika pasangan saling terbuka tentang hal-hal yang mereka alami, contohnya dalam kepuasan seksual atau hal-hal lainnya, maka akan adanya rasa saling mengerti satu sama lain.
Saling menghargai. Jika pasangan saling menghargai satu sama lain, tidak menganggap dirinya sendiri saja yang harus dipatuhi, maka akan tercipta keharmonisan dalam keluarga. Karena jika saling menghargai, akan timbul rasa adil satu sama lain dan tidak akan ada pikiran bahwa pasangannya egois.
Reference list
Richo., D. (2010). Daring to Trust: Opening ourselves to real love & intimacy.
Boston:Shambhala Publications.
Keluarga Disharmonis (Cindya Yosephine - 705120003)
Secara umum, keluarga adalah suatu lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Disharmoni adalah suatu keadaan dikatakan disharmonisasi adalah keadaan yang biasanya mencerminkan suatu kondisi dalam situasi yang terjadi dalam sebuah kelompok dan kelompok ini adalah sekumpulan manusia. Menurut Gunarsa (1993), keluarga disharmoni adalah suatu hubungan yang tidak selaras dalam kehidupan berkeluarga. Jadi apabila didalamnya (keluarga/rumah tangga) terdapat sebuah ketidakbahagian, maka keluarga tersebut dinyatakan disharmonisasi.
Penyebab terjadinya ketidakharmonisan dalam keluarga dibagi dalam dua faktor, yaitu dalam dan luar. Faktor dalam yang mempengaruhi terjadinya disharmonisasi dalam keluarga terdiri dari kurangnya kasih sayang antara keluarga. Suatu keluarga yang tidak terjalin kasih sayang, maka tidak akan terjalin hubungan emosional yang harmonis antara satu dan lainnya. Berikutnya, kurangnya saling pengertian sesama anggota keluarga. Selain itu, tidak adanya dialog atau komunikasi di dalam keluarga. Berikutnya, tidak ada kerjasama antara anggota keluarga. Kerjasama yang tidak baik antara sesama anggota keluarga sangat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada saling membantu dan gotong royong akan mendorong anak untuk bersifat tidak toleransi jika kelak bersosialisasi dalam masyarakat. Menurut Gunarsa (1993), kurang kerjasama antara keluarga membuat anak menjadi malas untuk belajar karena dianggapnya tidak ada perhatian dari orangtua.
Selain dari faktor dalam ada juga beberapa faktor luar yang mempengaruhi terjadinya disharmonisasi keluarga. Menurut Lailatul (n.d.), faktor ekonomi dan pola hidup bebas yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya disharmonisasi keluarga.
Keluarga diharmonis dapat menyebabkan suatu keretakan dalam kehidupan berkeluarga yaitu perceraian dan berdampak terhadap perkembangan seorang anak. Menurut Whisman, Dixon dan Johnson (1997), dari hasil survey masalah perceraian suami isteri, didapatkan hasil bahwa 38% anak akan mengalami masalah, 9% peringkat masalah, 18% kesulitan dalam merawat, 18.5% dampak merusak, dan 15.2% peringkat komposit. Selain itu menurut (Olson & Defrain, 2006), 20% anak-anak dari percerain akan mempunyai masalah pada emosinya. Beberapa dampak akibat keluarga disharmonis menurut Baker, Barthelemy, dan Kurdek (1993, dikutip dalam Lauer & Lauer, 2009) adalah turunnya tingkat sosialisasi seorang anak, anak tersebut cenderung menarik diri dari lingkungan. Menurut Guidubaldi dan Cleminshaw (1985, dikutip dalam Lauer & Lauer, 2009), seorang anak dari keluarga disharmonisasi cenderung mempunyai masalah mental dan kesehatan dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna untuk mencegah terjadinya keluarga disharmonis berdasarkan “10 tips keharmonisan pasangan suami-isteri”, yaitu berupaya untuk saling mengenal lebih dalam anggota keluarganya, mengatasi persoalan bersama, sikap toleransi terhadap sesama, berterus-terang satu sama lain, dll. Selain itu menurut Covey (2009), dalam suatu keluarga harus mempunyai sikap proaktif maksudnya yaitu kemampuan untuk bertindak berdasarkan prinsip dan nilai daripada bereaksi berdasarkan emosi atau keadaan, dan berusaha untuk memahami dahulu baru dipahami.
Daftar Pustaka
10 tips keharmonisan pasangan suami-isteri. Diunduh dari
http://www.voa-islam.com/muslimah/print/2010/07/10/7969/10-
tipskeharmonisan-pasangan-suami-istri/.
Covey, S. R. (2000). 7 Kebiasaan keluarga yang sangat efektif. Mitra Media
Publisher.
Lailatul. (n.d). Faktor-faktor keluarga disharmonis. Diunduh dari
http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2204610-faktor-faktor keluarga-disharmonis/#ixzz29R4ix2TZ.
Lauer, H. R., & Lauer, J.C. (2009). Marriage & family : The quest for intimacy (8th
ed.). Mc Grawh Hill.
Olson, D. H., & Defrain, J. (2006). Marriages and families. Mc Grawh Hill.
Thesis. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31231/3/Chapter%20II.pdf.
Whisman, Dixon, & Johnson. (1997). Journal of family psychology.\
26 Oktober 2012
Keluarga Disharmoni (Patricia Astrid Nadia Wignarajah - 705120012)
Hidup bahagia tentu adalah impian setiap orang. Hal ini dapat terwujud dengan membina hubungan keluarga. Menurut Berns (2007) keluarga ialah relasi personal antara dua pasangan, suami dan istri yang hidup bersama. Adapun pendapat Murdock (dikutip dalam Muin, 2006) bahwa keluarga adalah sekelompok orang yang bercirikan tempat tinggal yang sama, kerja sama dalam berbagai bidang ekonomi, perlindungan, dan melahirkan anak. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga ialah kelompok sosial yang terdiri dari dua orang, terbentuk lewat kesepakatan hubungan suami dan istri yang bertujuan menghasilkan keturunan.
Menurut Berns (2007), hidup berkeluarga juga memiliki tujuan lain, yaitu sebagai wadah untuk saling menyatakan cinta dan kasih sayang. Adapun, seseorang berkeluarga juga karena ingin mengenal peran sosial budaya pasangannya. Tuntutan ekonomi juga menjadi salah satu tolak ukur membangun kemakmuran keluarga. Tujuan lain yang tak kalah penting ialah, keluarga berperan sebagai wadah pemenuhan kebutuhan emosional.
Pembentukan sebuah keluarga tentunya diawali melalui sebuah pernikahan. Menurut Muin (2007), pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan perempuan sebagai suami istri. Pernikahan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum, agama, dan adat istiadat setempat (Muin, 2007). Ketentuan tersebut dibuat dengan tujuan, agar hubungan pernikahan dapat berlangsung baik dan tidak terjadi kekacauan. Jika terjadi kekacauan, maka lembaga keluarga tidak bisa menjalankan fungsinya.
Pada akhirnya, keluarga juga berperan besar dalam membentuk kepribadian seorang anak. Melalui hubungan sosial dalam keluarga dapat dipelajari banyak hal, seperti pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam rangka pembentukan kepribadian. Sosialisasi yang salah atau tidak sempurna dalam keluarga dapat menyebabkan kepribadian anak menyimpang pula (Muin, 2007). Jika dibesarkan dalam keluarga yang tidak peduli dengan lingkungan, kelak anak akan menimbulkan periaku menyimpang dalam masyarakat.
Keluarga memiliki tiga fungsi, yaitu: (a) fungsi sosialisasi, di mana keluarga adalah lembaga sosial yang pertama dan utama bagi seorang anak. Sebagian besar proses pembelajaran nilai dan norma sosial dilakukan oleh keluarga dari lahir hingga dewasa ; (b) fungsi afeksi, yaitu fungsi kasih sayang. Salah satu kebutuhan dasar manusia dalam membentuk nilai afeksi ; dan (c) fungsi perlindungan, bentuk perlindungan yang didapat berupa perlindungan fisik, ekonomi, dan rasa tenang. Perlindungan ini disebabkan oleh kedekatan hubungan darah yang menghasilkan sikap rela berkorban untuk sesama anggota keluarga ( Muin, 2007).
Seiring berjalannya waktu, terkadang tujuan dan fungsi yang diharapkan sebuah keluarga tidak sejalan sesuai kenyataan. Terkadang kebahagiaan mendadak berubah menjadi kehancuran, bahkan berujung pada perceraian. Menurut Covey (1999), hal-hal tersebut terjadi karena pertengkaran dalam keluarga yang dipicu oleh: (a) kurangnya kesadaran pasangan untuk saling memahami, (b) minimnya waktu yang diluangkan bagi pasangan juga memicu renggangnya hubungan harmonis dalam keluarga, dan (c) egoisme pasangan juga merupakan pemicu lahirnya beragam masalah tersebut.
Masalah-masalah tersebut, akhirnya membawa dampak psikologis seperti disharmoni dalam keluarga. Akhirnya, timbul pertengkaran, pasangan suami istri saling membentak, mengejek, dan mengancam. Adapun menurut Satiadarma (2001) masalah lain yang akan timbul ialah terkait perselingkuhan. Masalah tersebut merupakan ancaman serius bagi setiap kehidupan rumah tangga. Sejumlah penelitian mengemukakan bahwa peluang terjadinya perselingkuhan adalah sekitar 30% dan hal ini berlaku baik pada pasangan pria maupun wanita. Dampak dari perselingkuhan berorientasi pada dua kondisi utama, yaitu perceraian atau rujuk. Parahnya lagi jika hal-hal tersebut ditiru oleh anak-anak ketika beranjak dewasa (Covey, 1999).
Solusi terbaik untuk mengatasi masalah disharmoni dalam keluarga menurut Covey ( 1999) ialah: (a) pasangan harus membangun komunikasi yang jujur dan terbuka, (b) adanya rasa ingin saling berbagi dan mengisi dalam kebersamaan keluarga, (c) memberi teladan dan menanamkan nilai-nilai baik sebagai contoh yang patut ditiru oleh anak-anak. Terakhir, selesaikan permasalahan stress secara optimis, dan jika memungkinkan mengikuti terapi keluarga secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
Berns, R. M. ( 2007). Child, family, school, comunity: Socialization and support.
Belmont, CA: Thompson Higher Education.
Covey, S. R. (1999). The 7 habbits of highly effective family. Jakarta, Indonesia: Mitra Media.
Muin, I. (2007). Sosiologi XII. Jakarta, Indonesia: Erlangga.
Satiadarma, M. P. ( 2001). Menyikapi perselingkuhan. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
26 Oktober 2012
Minggu, 04 November 2012
Keluarga Disharmonis (Catherine Surya - 705120092)
Keluarga Disharmonis
Keluarga disharmonis adalah kondisi retaknya struktur peran sosial dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota keluarga gagal melainkan kewajiban mereka sebagaimana mestinya (Hendra, 2008). Keluarga disharmonis adalah keluarga yang telah kehilangan esensi dari arti keluarga itu sendiri, karena keluarga disharmonis tidak bisa menjalankan fungsinya.
Ciri- Ciri Keluarga yang Disharmonis
Setiap anggota keluarga menganggap waktu berkumpul bukanlah hal yang penting. Menurut Bunga (2008) Setiap anggota keluarga tidak memiliki jadwal khusus untuk bertemu atau sekedar menghabiskan waktu. Seluruh anggota keluarga menganggap bahwa pertemuan rutin bukanlah hal yang penting, tetapi sesungguhnya ini merupakan hal yang sangat penting bagi suatu keharmonisan keluarga.
Tidak adanya tujun bersama. Tidak adanya visi dan misi akan menyebabkan kebijakan pemikiran yang dibuat oleh kepala keluarga menjadi berbeda dengan anggota keluarga lainnya (Bunga, 2008).
Tidak adanya kesetiaan. Kesetiaan merupakan suatu komponen penting yang harus dimiliki oleh setiap anggota keluarga, karena kesetian merupakan hal yang sangat mendasar untuk mempertahankan suatu keluarga (Bunga, 2008).
Penyebab Ketidakharmonisan dalam Keluarga
Masalah ekonomi. Menurut Dhani (2008) Masalah ekonomi atau keuangan sering sekali menimbulkan perselisihan dalam anggota keluarga, terutama suami istri. Istri terkadang susah dalam membagi keuangan karena pengeluaran tidak sama dengan pendapatan hal ini kalau tidak dipahami dan dimengerti oleh kedua belah pihak dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan dalam keluarga, dan bahkan dapat menimbulkan perceraian.
Peran dalam keluarga. Suami istri memiliki peranan sendiri dalam sebuah keluarga, tetapi kadang-kadang hal itu tidak mereka pahami, sehingga timbul rasa saling meyalahkan. Misalnya saja dalam pengasuhan anak, terkadang suami menyerahkan sepenuhnya kepada istri sehingga kalau ada kesalahan yang dilakukan anak, maka istri disalahkan dan is tri tidak bias menerima hal itu yang akhirnya menimbulkan pertengkaran (Dhani, 2008).
Sepuluh Prinsip Membangun Keluarga Bahagia
Tumbuhkan komitmen.Menurut Moeslim (2006) tanpa komitmen, kesulitan dan persoalan mudah sekali menghancurkan keluara. Tanpa komitmen, upaya membangun kebahagiaan keluarga kehilangan fondasinya. Ia ibarat membangun istana kertas yang kemudian roboh ditiup angin.
Memberi apresiasi. Kurangnya apresiasi dapat membuat masing – masing pihak, merasa tidak dihargai dan tidak dibutuhkan. Jika sudah demikian, komitmen yang telah dibentuk untuk membangun kebahagiaan akan berantakan (Moeslim, 2006).
Pelihara kebersamaan. Moeslim (2006) menyatakan bahwa bagi keluarga yang tanpa kualitas kualitas kebersamaan yang memadai, kehancuran hanyalah perkara waktu. Ia bisa datanga dalam hitungan tahun, bulan bahkan mungkin hitungan hari. Tetapi, kehancuran itu pasti.
Berkomunikasi. Ketiadaan komunikasi bukan saja dapat menyebabkan kesalahpahaman, naum juga saling menjauhkan dunia masing – masing pihak. Tanpa komunikasi kita hanya membuang modal kita untuk meraih kebahagiaan (Moeslim, 2006).
Agama atau falsafah hidup. Moeslim (2006) menyatakan bahwa ajak dan libatkan anak dalam acara keagamaan. Kegiataan seperti itu akan membantunya untuk menyadari hal-hal yang lebih mendasar dalam hidup, sebuah kecerdasaan sprital yang jelas sangat berpengaruh pada kesanggupan orang untuk bahagia.
Bermain dan humor. Moeslim (2006) menyatakan bahwa jadilah teman bagi pasangan dan anak anda. Ketegangan dan persoalan akan lebih mudah cair dengan menyediakan waktu untuk rileks. Luangkan waktu untuk bermain dengan anak.
Berbagai tanggung jawab. Moeslim (2006) menyatakan bahwa fleksibel dalam berbagai peran dan tanggung jawab.Kadang suami yang menemani anak, kadang istri yang sibuk di luar. Berbagi peran dan tanggung jawab membuat masing – masing pihak semakin merasa sebagai satu kesatuan.
Miliki kepentingan dan kegemaran bersama. Moeslim (2006) menyatakan bahwa untuk memperkuat fondasi bagi kebersamaan keluarga, sebaiknya carilah kegemaran dan kepenetingan yang sama di setiap anggota keluarga.
Melayani orang lain. Moeslim (2006) menyatakan bahwa secara bersama melayani dan menolong orang lain yang kurang mampu atau tertimpa bencana dan akan memberi pengaruh positif. Pengalaman itu membuat masing- masing pihak semakin bersyukur berada dalam kondisi yag lebih baik dibandingkan dengan komunitas yang ditolong.
Tahan dengan problem.Jika kesulitan itu datang dalam hidup anda, jangan sekali-sekali sungkan meminta bantuan dari pihak yang lebih ahli untuk mengatasinya. Kekuatan dan kemampuan anda untuk menghadapi hidup tidak akan dikurangi sedikitpun kalau Anda meminta bantuan pihak lain (Moeslim, 2006, h. 3). Kesepuluh prinsip yang diuraikan ini tampak sederhana dan boleh dibilang merupakan hal yang umumnya sudah diketahui. Yang menjadi kunci bukanlah seberapa sederhana dan umumnya kesepuluh prinsip ini, namun sudahkah kesepuluh kunci tersebut kita lakukan dalam kehidupan kita.
Daftar Pustaka
Bunga. (2008). Penyebab keluarga disharmonis dengan hubungan keburukan mental anak.Skripsi. Universitas Pelita Harapan, Jakarta
Hendra, (2008). Keluarga Disharmonis Pasti Bisa diatasi. Banjarmasin: Pustaka Cahaya Bangsa
Kiat membangun keluarga harmonis. (2010). Diunduh dari http://perjalananhidupqu.blogspot.com/2010/05/kiat-membina-keluarga-harmonis.html
Moeslim. (2006). Psikologi Populer Membangun Keluarga Bahagia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
24 Oktober 2012
KELUARGA DISHARMONIS (Fiona Febilla Hidayat - 705120132)
Pengertian Keluarga Disharmonis
Keluarga. Summer dan Keller (dikutip dalam Loka, 2012) mengatakan bahwa “Keluarga sebagai miniatur dari organisasi sosial, meliputi sedikitnya dua generasi dan terbentuk secara khusus melalui ikatan darah.” Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
Disharmonis. “Suatu keadaan dikatakan disharmonisasi adalah keadaan yang biasanya mencerminkan suatu kondisi dalam situasi yang terjadi dalam sebuah kelompok. Disharmonisasi selalu berkaitan dengan keadaan sebuah rumah tangga atau keluarga.” (Gunarsa, 2004).
Keluarga Disharmonis. “Keluarga disharmonis adalah kondisi retaknya struktur peran sosial dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka sebagaimana mestinya.” (Goode, dikutip dalam “Pengertian Keluarga Disharmonis,” 2011). Keluarga disharmonis tidak memiliki ikatan yang erat antara satu dengan yang lainnya didalam keluarga sehingga berdampak negatif bagi kehidupannya.
Latar Belakang Keluarga Disharmonis
Gunarsa (2012) mengemukakan bahwa:
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga
merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan
dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi
aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga. Sebaliknya,
keluarga disebut disharmonis apabila ada seorang atau beberapa orang
anggota keluarga yang kehidupannya diliputi konflik, ketegangan,
kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan
serta keberadaan dirinya. Keadaan ini berhubungan dengan kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penyesuaian diri terhadap orang lain atau terhadap
lingkungan sosialnya.
Faktor-Faktor Keluarga Disharmonis
Loka (2012) mengemukakan bahwa “Bila disuatu keluarga tidak terjalin kasih sayang maka tidak akan terjalin hubungan emosional yang harmonis antara satu dan lainnya. Selain kurangnya kasih sayang, tidak ada pengertian dari keluarga maka dapat menyebabkan timbulnya pertengkaran sesama anggota keluarga.” Sedangkan menurut Simanjuntak (dikutip dalam “Faktor-Faktor Disharmonisasi Keluarga,” 2011), faktor keluarga disharmonis terdiri dari faktor internal seperti adanya norma dan etika yang perlu dijaga dan faktor eksternal yaitu pola kehidupan yang serba bebas tidak terkontrol.
Dampak Negatif Keluarga Disharmonis
Suatu kondisi keluarga yang tidak harmonis dan orang tua tidak lagi dapat menjadi tauladan yang baik untuk anak-anaknya. Bisa jadi mereka bercerai, pisah ranjang atau keributan yang terus menerus terjadi dalam keluarga (Atriel, dikutip dalam Sujoko, 2012). Kelompok paling sering terkena dampak dari disharmonisasi keluarga adalah para remaja, sehingga mengakibatkan remaja sering melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap perilakunya, seperti penyalahgunaan narkoba (Loka, 2012).
Upaya Pencegahan dan Penyelesaian Keluarga Disharmonis
Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga (Loka, 2012). Kondisi keluarga yang tidak harmonis akan memberikan dampak negatif terhadap perilaku anak. Untuk menciptakan suatu hubungan rumah tangga yang harmonis setidaknya ada aspek yang harus diperhatikan seperti cinta, kasih sayang dan kelembutan (Sujoko, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Faktor Keluarga Disharmonis. (Agustus, 2011) Diunduh dari
http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2204610-faktor-faktor-keluarga-disharmonis/
Gunarsa, S. D., & Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja dan
keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.
Loka, G. (2012). Pengaruh disharmonisasi keluarga terhadap penyalahgunaan
narkoba. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pengertian Keluarga Disharmonis. (Agustus 25, 2011). Diunduh dari
http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2204607
Sujoko. (2012). Hubungan antara keluarga broken home, pola asuh orang tua dan interaksi
teman sebaya dengan kenakalan remaja. Skripsi. Universitas Setia Budi, Surakarta.
24 Oktober 2012
Keluarga Disharmoni (Fariz Subkhan Dony - 705120106)
“Sepanjang semester pertama tahun 2012, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), telah menerima pengaduan kasus pelanggaran hak anak, melalui program hotline service-nya sebanyak 686 kasus atau sama artinya kurang lebih 100 pengaduan setiap bulannya”(Komnas PA, 2012). Dari jumlah itu dapat dilihat masih banyak orang tua kurang memperhatikan kesejahteraan anaknnya yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya dan dalam 6 bulan terakhir, hal ini menjadi pembicaraan Komnas PA. Lembaga ini berusaha mencari solusi agar dapat mengurangi angka tersebut.
Keadaan dimana suatu keluarga yang tidak pernah lepas dari masalah. Masalah yang timbul bisa internal dan eksternal seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bisa juga masalah yang datang dari luar lingkungan rumah. Keadaan di rumah menjadi tidak tenang, saling menyalahkan satu sama lain dan ini tentu saja tidak baik bagi pertumbuhan psikologis anak–anak yang tinggal dirumah itu.
KDRT termasuk Keluarga Disharmoni karena itu KDRT sendiri dapat menjadi penyebab tebentuknya Keluarga Disharmoni; seperti kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap anak dan istrinya, bisa dalam bentuk kekerasan fisik, seperti menampar atau memukul istri dan anaknya. Seorang ibu juga dapat menjadi pelaku KDRT dimana seharusnya dia yang bertanggung jawab atas anaknya, misalnya, seorang ibu yang suka menyiksa anaknya dan mengancam akan menghukum anaknya tersebut bila mengadukan ke suaminya. Terakhir sang anak pun dapat menjadi pelaku KDRT dengan suka memberontak kepada orang tuanya, seperti dalam meminta uang. Apabila tidak diberikan, ia akan memberontak dan mengacak – acak rumahnya sehingga keluarga tersebut mengalami kerugian materi.
Terjadinya Keluarga Disharmoni terjadi adalah kurang terbukanya seseorang dalam sebuah keluarga, ia terus menerus menyembunyikan suatu masalah sehingga masalah tersebut menjadi besar dan semakin sulit untuk memecahkannya. Hal seperti ini harusnya dapat dihindari dengan saling terbuka antar anggota keluarga sehingga keluarga tersebut saling percaya dan tidak terjadi konflik yang menyebabkan KDRT. KDRT dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan suatu keluarga karena seseorang dalam keluarga tersebut berbuat kekerasan untuk dapat memenuhi kebutuhan pribadinya.
Beberapa contoh kasus Keluarga Disharmoni seperti, Yani (30 th) sering menghukum‘kenakalan’ anaknya yang berusia 5 tahun ("Kemiskinan dan kekerasan fisik pada anak"). Bentuk kenakalan itu antara lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran dan menganggu adik. “Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu adiknya, saya pukul pakai mainannya.” Menurut Yani, anak harus dihukum supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan yang dilarang. Yani tidak ingin disalahkan suami karena tidak mampu mendidik anak.
Dari tindakan tersebut dapat menimbulkan dampak fisik seperti memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan gangguan di bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di usia selanjutnya. Dan dari segi dampak emosinya si anak akan merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas. Hal itu bisa membuat si anak menanamkan bahwa kekerasan diperbolehkan untuk menerapkan disiplin. Di usia dewasa, anak akan menggunakan pendekatan untuk mendisiplinkan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Kemiskinan dan kekerasan fisik pada anak. Diunduh dari http://bambang-rustanto.blogspot.com/2010/03/kekerasan-fisik-pada-anakanak.html
Komisi Nasional Perlindungan Anak [Komnas PA]. (2012). Diunduh dari http://m.antaranews.com/berita/338929/komnas-perlindungan-anak-terima-686-pengaduan
24 Oktober 2012
Rabu, 31 Oktober 2012
Keluarga Disharmoni (Fauziah - 705120151)
Pengertian Keluarga Disharmoni
Keluarga. “Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga berinteraksi satu sama lain dan dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan” (Salvicion & Celis dikutip dalam Baron & Byrne, 2003). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), keluarga adalah satuan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di bawah suatu atap dalam keadaan saling bergantung satu sama lain.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah gabungan dari beberapa individu yang tergabung karena perkawinan atau hubungan darah yang tinggal satu atap berinteraksi dan menjalankan perannya masing-masing.
Disharmoni. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) “Disharmoni adalah kejanggalan; ketidakselarasan”. Ketidakselarasan yang terjadi dapat menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakselarasan yang terjadi dalam keluarga biasa disebut keluarga disharmoni.
Keluarga Disharmoni. “Keluarga disharmoni adalah kondisi retaknya struktur peran sosial dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka sebagaimana mestinya” (Goode, 1991). Munculnya keluarga disharmoni ini disebabkan karena adanya rasa kurang percaya dan curiga yang muncul dalam anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena unit dasar dari masyarakat telah rusak (Somasundaram, 2007).
Ciri-ciri Keluarga Disharmoni
Ciri keluarga disharmoni yang pertama adalah keluarga yang kehidupannya diliputi oleh ketegangan, kekecewaan, dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan dan keberadaan dirinya sehingga anggotanya merasa terganggu atau terhambat (Gunarsa, & Gunarsa, 2004). Ciri kedua, adalah hilangnya anggota keluarga yang disebabkan karena kematian, cidera, atau perpindahan yang membuat kesenjangan besar dalam peran seseorang di keluarga (Somasundaram, 2007). Pada ciri ketiga, anggota keluarga yang berusia remaja lebih sering berada di luar rumah dibandingkan di dalam rumah karena ada rasa tidak nyaman berada dalam rumah yang diisi oleh konflik keluarga (Formoso, Gonzales, & Aiken, 2000).
Faktor yang Melahirkan Keluarga Disharmoni
“Hilangnya peran penting dari kehilangan anggota dapat menyebabkan gangguan dan ketidakharmonisan dalam keluarga” (Somasundaram, 2007). Gangguan dalam keluarga dapat memicu guncangan yang mengancam ketahanan keluarga sehingga menyebabkan perubahan pola dan perubahan hubungan antar anggota keluarga (Rakhmat, 2007). Salah satu gangguan yang mengancam perubahan hubungan antar anggota keluarga adalah kebosanan. Rasa bosan membuat hubungan menjadi hambar, komunikasi mengalami hambatan, tugas suami istri menjadi terbengkalai, dan terjadi pembalasan setiap ada yang memulai suatu tindakan. (Farisi, 2008). Dengan kata lain, rasa bosan yang muncul dapat dipicu oleh berbagai hambatan dan masalah semakin menguatkan ketidakharmonisan dalam suatu keluarga.
Dampak dari Keluarga Disharmoni
Bagi anak-anak, berkurangnya ikatan antara anak dan orangtua dalam rumah yang berkonflik membuat anak mengalami stres, sehingga anak lebih nyaman berada di luar rumah (Formoso, Gonzales, & Aiken, 2000). Disharmoni semakin menguat dalam keluarga khususnya pasangan suami istri dapat menyebabkan pasangan suami istri tersebut mengalami keretakan hubungan seperti kurangnya komunikasi kemudian menjadi perpisahan yang berujung talak bahkan perceraian (Farisi, 2008).
Pencegahan dan Pemulihan Keluarga Disharmoni
Prinsip-prinsip dinamika keluarga dapat digunakan untuk mendukung penyembuhan hubungan yang bertujuan menangkal interaksi yang tidak adaptif. Masalah komunikasi individu mengarah kepada kesadaran peran seseorang dan dorongan terhadap rasa saling membutuhkan menjadi fungsi yang digunakan untuk membangun persatuan keluarga. Ketika anggota dalam keluarga khususnya anak-anak bertemu dengan masalah dinamika keluarga, maka ia harus dikelola agar cepat pulih (Somasundaram, 1998). Dengan menyadari bahwa setiap anggota memiliki rasa ketergantungan dapat membina persatuan keluarga dan mencegah perpecahan didalamnya (Somasundaram, 2007).
Daftar Pustaka
Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga.
Disharmoni. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Farisi, M. Z. A. (2008). When i love you: Menuju sukses hubungan suami istri. Jakarta: Gema Insani.
Formoso, D., Gonzales, N. A., & Aiken, L. S. (2000). Family conflict and children’s internalizing and externalizing behavior: Protective factors. American Journal of Community Psychology, 28(2), 175-199.
Goode, W. J. (1991). Sosiologi keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.
Gunarsa, D. S., & Gunarsa, Y. S. D. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja, dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Keluarga. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Rakhmat, J. (2007). SQ for kids: Mengembangkan kecerdasan spiritual anak sejak dini. Bandung: Mizan Pustaka.
Somasundaram, D. J. (2007). Collective trauma in northern Sri Lanka: A qualitative psychosocial-ecological study. International Journal of Mental Health Systems, 1(5), Doi: 10.1186/1752-4458-1-5.
Somasundaram, D. J. (1998). Scarred minds. New Delhi: Sage Publications.
23 Oktober 2012
Dampak Keluarga Disharmonis Terhadap Anak dan Remaja (Melania Veronita - 705120057).
Pengertian Keluarga Disharmonis
Goode (dikutip dalam “Pengertian Keluarga Disharmonis,” 2011) mengemukakan bahwa “keluarga disharmonis adalah kondisi retaknya struktur peran sosial dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka sebagaimana mestinya.” Keluarga disharmonis merupakan lawan dari keluarga harmonis. Kondisi keluarga disharmonis semakin mudah untuk dijumpai di lingkungan sekitar, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor Keluarga Disharmonis
Sebuah keluarga dapat berjalan dengan tidak harmonis karena adanya beberapa macam faktor yang mempengaruhi. Hal tersebut diungkapkan oleh Simanjuntak (dikutip dalam “Faktor-faktor Keluarga Disharmonis,” 2011) sebagai berikut:
1. Faktor internal dalam keluarga, seperti adanya kenistaan dalam keluarga. Selain itu, norma dan etika yang seharusnya dipelihara ditinggalkan seperti tidak adanya rasa saling pengertian dalam keluarga.
2. Faktor eksternal dalam keluarga, antara lain pola kehidupan yang serba bebas yang tidak terkontrol, lingkungan hidup yang buruk dan situasi perekonomian yang mendesak dan pas-pasan dapat menjadi pemicu ketidakharmonisan keluarga.
Jenis Keluarga Disharmonis
Menurut Ruth Shonlecavan (dikutip dalam Sobari, 2011), ada dua jenis keluarga deisharmonis yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut adalah psychological broken home dan physically broken home. Psychological broken home terjadi bila dalam satu keluarga, unsur ayah dan ibu masih ada dan masih terikat oleh suatu pernikahan, namun antara ayah dan ibu sudah tidak ada hubungan mesra, tidak ada keharmonisan atau kerukunan. Sedangkan physically broken home nyata dengan adanya perceraian antara ayah dan ibu, baik karena proses perceraian maupun akibat kematian salah satu pihak orang tua.
Pengaruh Keluarga Disharmonis
Pengaruh keluarga disharmonis terhadap anak. Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil. Menurut Sobari (2011), keluarga adalah lingkungan pertama yang mengembangkan jiwa anak-anak. Dari keluarga itu pula, anak-anak menerima kesempatan bagi perkembangan kejiwaannya itu yang berasal dari masa bayi yang penuh kemesraan dan kesenangan yang akan menentukan masa dewasanya. Peranan ibu sangat penting dalam membina anak-anaknya, sehingga dapat menyesuaikan diri baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Pengaruh keluarga disharmonis terhadap motivasi belajar anak-anak. Sebagai lingkungan pertama bagi perkembangan anak-anak, keluarga turut memiliki peran yang besar terhadap motivasi belajar mereka. Menurut Semiawan (2010), motivasi belajar yang diperoleh dan dibentuk oleh lingkungan merupakan landasan esensial yang mendorong manusia untuk tumbuh, berkembang, dan maju dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Untuk itu dalam lingkungan rumah harus diciptakan kondisi yang kondusif bagi anak, yaitu suatu suasana yang demokratis yang terbuka, saling menyayangi, dan saling memercayai. Dengan landasan inilah anak akan berkembang menjadi pribadi yang harmonis, yaitu anak lebih peka terhadap kebutuhan dan tuntutan lingkungan, dan lebih sadar akan tujuan hidupnya, sehingga menjadi lebih termotivasi dan lebih yakin dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Pengaruh keluarga disharmonis terhadap kenakalan anak remaja. Pengaruh keluarga disharmonis terhadap kenakalan remaja sesuai dengan hasil penelitian Lembaga Penelitian Pendidikan IKIP Bandung terhadap 920 orang anak nakal di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita dan Anak-anak di Tanggerang (dikutip dalam Sobari, 2011) sebagai berikut: (a) 51% anak nakal berasal dari keluarga broken home, (b) 31% anak nakal berasal dari kelurga yang sering meninggalkan anaknya sendiri di rumah, dan (c) 14,5% anak nakal berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan sering bertengkar.
DAFTAR PUSTAKA
Faktor-faktor keluarga disharmonis. (2011). Diunduh dari http://id.shvoong.com
Pengertian keluarga disharmonis. (2011). Diunduh dari http://id.shvoong.com
Semiawan, C. (2010). Lingkungan keluarga yang mempengaruhi motivasi belajar. Diunduh dari http://episentrum.com
Sobari, T.I. Kenakalan anak dan remaja. (2011). Diunduh dari www.unpas.ac.id
23 Oktober 2012
Langganan:
Komentar (Atom)