Minggu, 18 Mei 2014

PENGALAMAN DARI PRAKTISI PIO (Listia Qisthy)


Halo!! Saya mau cerita sedikit tentang pengalaman yang sudah diberikan oleh para praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi pada kamis lalu tanggal 24 April 2014, di kelas Teknik Wawancara. Di kelas tersebut Mahasiswa diberikan cerita dan pengalaman bagaimana ketika sudah berada di bidang PIO sebagai seorang recruitment.
Nah praktisi pertama ini bernama Kak Dinah. Seorang lulusan Magister Psikologi di Universitas Tarumanagara. Kak Dinah ini ramah sekali lhooo..dan ternyata kak Dina sudah menjadi ibu dari kedua anaknya yang kembar. Kak Dinah bercerita ketika dirinya bekerja di perusahaan tambang, dan ditempatkan di kepulauan Raja Ampat, saya terkejut bahwa kak Dinah ditempatkan di Raja Ampat, siapa coba yang gak mau kesana, kan? Hehehe. Tapi disana jauh dari mana-mana dan harus melewati perjalanan yang jauh. Kak Dinah bekerja sebagaiCommunity Development Relationship, ternyata kak Dinah disana melihat bagaimana kepribadian para pekerja tambang, dan apakah para pekerja tersebut memang cocok untuk bekerja diperusahaan tersebut atau tidak. Kak Dinah melakukan pendekatan dengan cara terjun langsung ketempat para pekerja tambang bekerja, kak Dinah memperhatikan ketika para pekerja tersebut sedang bekerja dan melakukan wawancara dengan konteks yang “santai”. Karena, kak Dinah melakukan wawancara sambil memancing dan makan siang bersama para pegawai. Kemudian kak Dinah juga wawancara para pegawai tambang diruangan yang terbatas, Kak Dinah mengatakan jika ingin wawancara kepada seorang pegawai, harus mengetahui latar belakang budaya nya, dan lihat latar belakang pendidikannya. Kak Dinah juga mengatakan bahwa ketika sedang melakukan wawancara tidak harus berada di tempat yang formal, namun ditempat seperti pinggir pantai pun tetap dapat melakukan wawancara, karena tujuan wawancara yang sebenarnya adalah mendapatkan informasi, jadi dimanapun dan bagaimanapun situasi dan kondisinya memungkinkan, wawancara tetap bisa dilakukan.
Praktisi yang kedua adalah Kak Bambang, dan ternyata Kak Bambang yang manis ini sudah memiliki anak hohoho. Saya cukup tertarik ketika mendengarkan Kak Bambang bercerita tentang pengalamannya. Kak Bambang bekerja di sebuah asuransi yang namanya sudah terkenal di Indonesia. Kak Bambang lulusan S1 di Universitas Tarumanagara, kata kak Bambang walaupun Cuma lulusan S1, tetap bisa sukses dan dapat jabatan tinggi. Saat ini Jabatan yang didudukinya adalah assistant manager. Kak Bambang adalah orang yang tidak mudah untuk menyerah serta selalu ingin mencoba sesuatu yang baru agar dapat menjadi yang lebih baik, kak Bambang bilang “jadi orang itu harus be humble, terbuka untuk hal baru, jangan cepat menyerah, mau berbagi ilmu dengan orang lain serta tidak boleh sombong”. Kemudian Kak Bambang juga mengatakan bahwa pewawancara harus menguasai:
S: ituation (pewawancara harus dapat mengetahui situasi ketika wawancara berlangsung, tidak boleh gugup dan bersikap teliti)
T:ask (pewawancara harus mengetahui tugas dan pekerjaan apa saja yang dulu pernah dikerjakan dan dapat diselesaikan oleh kandidat)
A:ction (pewawancara harus dapat melihat perilaku kandidat, apakah mampu bekerja sama, dan merupakan criteria yang dicari oleh perusahaan)
R:esult (pewawancara dapat menyimpulkan dan menentukan hasil dari wawancara yang sudah dilakukan)
Lalu yang terakhir adalah praktisi yang bernama Kak Sam. Beliau adalah yang terlihat paling muda diantara ketiganya, namun kak Sam sedikit kaku, tapi berusaha untuk bicara dan berbagi pengalamannya dengan kita semua. Kata kak Sam “soalnya saya gak pernah ngomong depan umum begini dan materinya ketinggalan semua jadi gugup deh”. Kak Sam ini sih menurut kita tingkat humornya tinggi banget, habisnya lucu sih suka bercanda :D. Kak Sam lulusan S1 dan S2 Psikologi dari Universitas Tarumanagara. Kak Sam bekerja di salah satu perusahaan minuman yang terkenal namanya di Indonesia dan dibeberapa Negara juga loh..
Kak Sam bilang bahwa kita dari sekarang harus mengetahui tujuan hidup kita bakal dan mau jadi apa nantinya di 5 tahun kedepan, kalau mau sukses harus mau berusaha. Kak Sam mengatakan bahwa sebagai pewawancara harus sadar dan mengetahui jawaban dari sang pelamar kerja, jangan asal terima aja yang dikatakan oleh pelamar kerja, harus Logis, karena kita harus mengetahui apakah pelamar tersebut berbohong atau tidak atas jawaban yang diberikan, dan sesekali kita sebagai pewawancara harus mau menelepon kekantor tempat bekerja si pelamar terdahulu untuk mengetahui kebenarannya.


Kami selaku mahasiswa di kelas Teknik Wawancara senang sekali karena berkat cerita dari pengalaman para kakak-kakak praktisi tersebut dapat membuat gambaran untuk kedepannya ketika sudah masuk di dunia kerja. Kami kedatangan 3 praktisi yang semuanya adalah lulusan dari Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara. Wah ternyata saya bangga sekali menjadi salah satu bagian dari Fakultas Psikologi, karena mendengar kesuksesan para praktisi. Semoga kedepannya saya bisa seperti mereka yah!!! Aamiin!! :

7 Mei 2014

Sharing Bersama Praktisi Pendidikan (Deyu Trisna)


    Minggu lalu, dalam kelas Teknik Wawancara kami mendapatkan pengalaman dari beberapa alumni Psikologi, Universitas Tarumanagara. Selasa lalu, di kelas kami mendapatkan pengalaman yang juga sangat menarik dari praktisi pendidikan yang bekerja di salah satu sekolah Taman Kanak-Kanak di Jakarta. Beliau adalah Ibu Aswini, yang juga pernah mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara
     Di sekolah tersebut, Beliau memiliki jabatan sebagai Academic Director. Beliau bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya program sekolah dengan baik. Dalam pekerjaannya, beliau juga menggunakan teknik wawancara yang biasanya dilakukan kepada guru, staff, dan orang tua calon murid.
     Sekolah tempat Beliau bekerja menerapkan active learning yang memiliki beberapa area, seperti reading areawriting area, dan lain sebagainya. Namun, di dekolah tempat Beliau bekerja tidak terlalu menekankan adanya pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Walaupun demikian, di sekolah tersebut tetap diajarkan pembelajaran tersebut.
     Dalam melakukan aktivitas dalam sekolah tersebut, murid diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang ingin mereka pelajari. Untuk itu, sekolah menerapkan PDR (Plan-Do-Review). Plan, berarti murid diajak untuk membuat sebuah rencana mengenai kegiatan apa saja yang akan mereka lakukan pada hari itu. Kemudian, mereka melakukan (Do) rencana yang telah mereka buat. Terakhir, (Review) di mana guru dan murid mengingat kembali apakah yang sudah dilakukan murid sesuai dengan rencana yang dibuat di awal.
     Dalam melakukan wawancara kepada guru, sekolah ingin mengetahui apa yang mendasari seorang calon guru tersebut memilih untuk mengajar, kemampuan yang dimilikinya, dan hubungan interpersonal calon guru tersebut yang akan memengaruhi interaksinya dengan murid-murid di sekolah. Selain diwawancarai, calon guru juga harus mengikuti pelatihan yang diadakan oleh sekolah.
     Wawancara kepada staff yang bekerja di sekolah, seperti office boy dan security dilakukan untuk melihat apakah sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan atau tidak dan untuk meningkatkan hubungan kerjasama yang baik antara guru dan staff-staff yang bekerja di sekolah tersebut. Terakhir, wawancara terhadap orang tua calon murid dilakukan untuk mengetahui banyak tentang calon murid yang akan masuk di sekolah tersebut, misalnya tentang kesehatan, apakah calon murid memiliki alergi dengan makanan tertentu, dan sebagainya.
     Yaa, hari itu saya mendapat pengalaman baru lagi
5 Mei 2014

Praktisi bidang Pendidikan (Adelina William)


Pada kesempatan yang lalu, kelas teknik wawancara kami kembali didatangkan oleh seorang praktisi dan kali ini merupakan praktisi di bidang pendidikan yang bernama Ibu Aswini. Beberapa tahun yang lalu, beliau merupakan seorang dosen di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara dan beliau pernah mengajar sebagai dosen pengampu mata kuliah psikodiagnostik dan psikologi musik saat itu, hingga pada akhirnya beliau keluar dan saat ini beliau bekerja sebagai academic director di sekolah High Scope international di daerah Pluit, Jakarta. Pada tempat beliau bekerja lebih difokuskan untuk anak-anaktoddler, preschool maupun kindergarten.

Ya, ketika mendengar bahwa beliau berkonsentrasi untuk mengajar anak-anak TK yang masih lucu tersebut, saya pun langsung tertarik. Sebenarnya saya pribadi kurang begitu tertarik terhadap penjelasan di bidang pendidikan, namun mendengar beberapa cerita dari Ibu Aswini mengenai bagaimana kurikulum di sekolah tempat beliau bekerja, apa saja yang sebaiknya diperoleh anak-anak, dan lain sebagainya membuat saya jadi lebih penasaran bagaimana sih kehidupan di dunia pendidikan? 

Ibu Aswini bercerita bahwa sekolah tempatnya mengajar itu lebih menekankan pada program active learning, jadi anak-anak dibiarkan untuk bebas berkreasi dimana tempat duduk yang tertata bebas dalam ruangan dengan hiasan yang memang dibuat semenarik mungkin dan mungkin agak sediki berbeda dengan TK pada sekolah regular yang tempat duduknya masih tersusun rapi sehingga anak-anak harus duduk di tempat yang sudah ditentukan. Pada sekolah HighScope tempat Ibu Aswini bekerja itu cenderung memberikan kebebasan anak-anak dalam menentukan apa yang ingin mereka pelajari, misalnya apakah mengenai reading, ataukah mengenai writing, dan lain sebagainya. Melalui program belajar active learning seperti itu memang mengharapkan supaya anak-anak dapat lebih mengembangkan fungsi kognitif mereka dan yang pasti akan lebih mempermudah anak-anak menyerap materi pelajaran dengan baik.

5 Mei 2014

Berbagi Pengalaman 2 (Shella Tjhia)

ada pertemuan Selasa (29 April 2014) kemarin, kami didatangkan seorang tamu yang bekerja di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Beliau banyak bercerita mengenai pengalaman kerjanya di sekolah tersebut, misalnya cara berinteraksi dan menangani anak-anak. Sekolah tempat Beliau bekerja menggunakan metode active learning. Active learning adalah sistem pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran.
     Dalam hal ini teknik wawancara di gunakan Beliau pada saat mewawancarai orang tua murid, guru, dan karyawan sekolah tersebut. Beliau mewawancarai orang tua murid guna untuk mengetahui informasi mengenai murid tersebut (misalkan, alergi makanan) dan guna mewawancarai guru dan karyawan adalah untuk mengevaluasi kinerja guru dan karyawan tersebut.

5 Mei 2014

Sharing Praktisi Pendidikan (Anita Tandinata)


      Pada pertemuan Minggu lalu, kelas Teknik Wawancara didatangkan seorang psikolog dalam bidang pendidikan yang bernama Bu Aswini. Beliau adalah  seorang academic director di sebuah sekolah internasional yang berlokasi di daerah Pluit. Sekolah tempat beliau bekerja khusus untuk early childhood. Anak- anak yang bersekolah di sana tidak terlalu banyak, sekitar 100-an orang , dan staff guru yang mengajar di sana hanya berjumlah 15 orang. Tugas beliau di sekolah tersebut adalah memastikan kurikulum supaya berjalan dengan lancar, selain itu beliau juga melakukan wawancara untuk guru dan staff lainnya. Beliau mengatakan, kriteria guru yang bekerja di sana bukan cuma suka pada anak- anak saja, tetapi membutuhkan kreativitas untuk menciptakan strategi pembelajaran yang menyenangkan  bagi anak- anaknya.

     TK tempat beliau bekerja berbeda dengan TK lainnya. Di TK tersebut tidak ditekankan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung. Tk tempat beliau bekerja lebih menekankan active learning. Di dalam kelas terdapat beberapa area, seperti reading area, writing area, computer area, playing area, dll. Anak-anak diberi kebebasan untuk menentukan apa yang mereka ingin pelajari. Setiap guru hanya mengontrol aktivitas dari anak- anaknya dan guru cenderung berperan sebagai guide. Guru juga mengajarkan pada anak- anak untuk membereskan barang- barang yang telah mereka gunakan sehingga anak- anak dibiasakan untuk bertanggung jawab untuk merapikan barang yang mereka gunakan. Pembelajaran seperti ini dapat meningkatkan kreativitas anak dan mereka bebas untuk bereksplorasi. Walaupun tidak ditekankan pada metode calistung ( membaca, menulis, berhitung) namun bukan berarti sama sekali tidak diajarkan, tetapi menggunakan pendekatan yang berbeda. Biasanya, orang tua dari murid akan memberikan les di luar sebagai tambahan untuk meningkatkan kemampuan calistung dari anak- anaknya. 
 
    Hmmm... Saya jadi teringat pengalaman saya ketika menjadi guru bimbel anak TK. Ada seorang anak yang setiap kali datang les susah banget mau disuruh belajar, dibujuk pakai apapun dia tidak mau belajar. Akhirnya anak itu bercerita bahwa dia tidak ada waktu bermain. Dia berkata bahwa dia sangat suka bermain tapi tidak ada waktu. Setelah pulang sekolah, dia harus Les bimbel. Setelah pulang dari bimbel, dia lanjut les Inggris. Sesampai di rumah, dia makan, lalu disuruh untuk tidur lebih awal agar tidak kesiangan keesokan harinya. Saya sangat kasihan dengan anak tersebut. Sehingga setiap kali dia datang les, saya memberinya waktu setengah jam lebih kepadanya untuk bermain terlebih dahulu, setelah itu baru belajar. Anak itu sangat senang dengan kesepakatan tersebut. Walaupun akhirnya dia pulang lebih telat dibandingkan dengan teman- teman lainnya, namun dia kelihatan senang. Hal ini sangat menyadarkan saya jika suatu hari saya sudah memiliki anak. Sebagai orang tua, janganlah kita berpikir untuk membuat anak kita menjadi sepintar mungkin, namun perhatikan apa yang anak kita butuhkan sesuai dengan tahap perkembangannya. Masa anak- anak memang identik dengan bermain. Mari jadikan masa kecilnya indah dan bahagia!  Hahahah... jangan suram yaa (yang merasa aja, hahaha). ^^


5 Mei 2014

Stay Together for the Kids (Yosi Rahma Putri)




Senang sekali akhirnya saya dikejutkan kembali dengan kehadiran guest star, tetapi kali dengan tema praktisi pendidikan. Dalam kegiatan sehari-hari, beliau adalah seorang wanita yang bekerja di salah satu Rumah Sakit di Pondok Indah ketika di siang hari. Walaupun dengan latar belakang clinical psychologist, beliau juga berperan di bidang pendidikan. Yaitu sebagai curriculum director di international schools. Dalam sekolah tersebut beliau fokus pada jenjang toodler, playgroup,dan kindergarden.

Nah, kalau sudah mengedengar kata-katatoodler...playgroup...kindergarden. Pasti kita terbayang bagaimana wajah-wajah ‘unyu’ penuh canda tawa, meskipun terkadang mereka bisa menjadi mahluk yang zupermenjengkelkan (hahaa!).



Kalo soal itu sih kembali lagi pada luka batin diri masing-masing yaa! Hehehe...

Tetapi kalau dipikirkan kembali dengan segenap akal pikiran, beserta logika yang kadang-kadang ‘tak ada logika’ (lho itu sih lagunya Agnezmo hahaa!) mereka itu adalah mahluk sosial yang juga sama seperti kita semua, meskipun terpaut jauh dengan rentang usia.

So....
Ketika mereka itu terasa menjengkelkan, artinya mereka juga butuh sosialisasi yang tepat dari mahluk sosial lainnya yang dianggap lebih ‘dewasa’. Agar perilaku menjengkelkannya itu mendapatkan sebuah ‘sosialisasi’ bahwa hal tersebut kurang tepat untuk dilakukan oleh mereka, dan telah membuat kenyamanan orang lain menjadi terganggu.

Tetapi sayangnya mahluk sosial yang dianggap lebih ‘dewasa’ itu, atau yang bisa jadi adalah ‘kita’ kurang tepat memanfaatkan momen-momen sosialisasi dengan mereka.

Misalnya ketika seorang anak bertanya kepada orang dewasa seperti percakapan di bawah ini
X: ‘ni paan cih? Yang ada di bawah pelut, tus kalo aku pipis cuuussssss ada ailnya walna kuning-kuning?’
Y: “ohh... itu sih namanya BURUNG”
X: BULUNG? Hmm...sama kayak bulung beo punya pak El Te (RT) dong? NO WAYYYYYY!
Y: ‘aduh kamu nih apaan sih teriak-teriak gitu, brisik ahh!’
X: ‘kalo ini namanya bulung, aku mustinya gaboleh pake celana tauuu! Aku mau buka celana dayem ah... tus aku harus dikandangin kayak bulung beonya pak El Te....



Nah, itulah percakapan singkat di atas. Dimana sedang terjadi sebuah salah paham. Bahkan jika mereka tidak mendapatkan informasi jelas, kelak bisa menjadi pelaku atau bahkan korban pelecehan seksual, berhubung topik di atas adalah organ seksual.



Sebelum terungkapnya kasus pelecehan sesksual kepada anak kecil yang marak terjadi pada saat ini. Ternyata guest star kita kali ini selalu melakukan wawancara pada saat tahap seleksi, kepada seluruh karyawan cleaning service, walaupun karyawan tersebut adalah tenaga outsourcing. Ya! Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kualitas sekolah tersebut yang bertaraf internasional, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


Kembali lagi pada percakapan ‘BULUNG’
Lalu, apa yang harus kita katakan ketika menjelaskan hal ‘itu’?

Pertama-tama kita perlu jujur sejujur-jujurnya mengatakan bahwa ‘itu’ adalah PENIS. Bukan ‘burung, titit, si adek kecil, atau istilah-istilah lainnya yang jauh lebih populer. Kemudian kita sosialisasikan fungsi dari penis itu sendiri, tetapi hanya sebatas untuk sistem sekresi saja (buang air kecil). Jadi perlu untuk dijaga kebersihannya, dan harus berani menolak atau berteriak jika ada orang lain yang menyentuh dengan sengaja tanpa keperluan yang jelas kecuali oleh keluarga.


Jadi, sebaiknya kita mampu ‘memanfaatkan’ rasa keingintahuan atau yang lebih dikenal kepo pada diri anak-anak, dengan cara memberikan informasi yang jujur namun tetap memperhatikan porsi yang sesuai dengan usianya.

Hal tersebut juga dimanfaatkan oleh guest star kali ini, dengan menerapkan active learning di kelas. Mengingat murid-murid di sekolah tersebut adalah anak-anak, jadi dengan active learning diharapkan dapat ‘memuaskan’ rasa keingintahuan mereka yang besar. Karena para siswa boleh untuk bertanya mengenai materi yang sedang di pelajari ketika kelas berlangsung, atau mengemukakan pendapatnya. Untuk tata letak bangku pun berbeda dengan sekolah formal lainnya, karena jika dilihat dari luar akan nampak tidak beraturan. Bisa membentuk sebuah huruf U, namun tetap tidak simetris. Namun hal tersebut dapat membuat siswa merasa senang belajar, dan dapat mencairkan suasana.


Kemudian selain active learning, ada timing dan problem solving. Untuk timing diterapkan ketika siswa bermain komputer, biasanya menggunakan sebuah ‘jam pasir’. Jadi setiap siswa memiliki batas waktu yang telah ditentukan untuk bermain komputer, ketika sudah selesai maka harus berhenti bermain komputer dan bergantian dengan teman lainnya. Lalu ketika siswa tersebut ingin bermain lagi, maka harus mengantri kembali ke dalam barisan.


Tetapi meskipun timing sudah diterapkan, tidak menutup kemungkinan terjadi rebutan bermain komputer antar siswa. Lalu untuk menangani hal tersebut menggunakan problem solving. Dalam sekolah tersebut tidak menerapkan hukuman seperti ‘menjewer kuping sendiri sambil mengangkat salah satu kaki’ hehehe.

Jadi problem solving membutuhkan pihak ketiga yaitu seorang guru. Kemudian guru tersebut akan menanyakan apa yang dirasakan oleh siswa tersebut. Lalu apa alasannya melakukan hal tersebut, dan apa perbaikan selanjutnya agar memberikan kenyamanan dengan antar siswa.

Peran seorang GURU juga sangat penting dalam sekolah tersebut. Seperti dalam problem solving, memang dibutuhkan seseorang yang mampu mendengarkan dengan sabar dan pengertian tanpa terbawa emosi mengenai apa yang dirasakan siswa meskipun itu hal yang negatif. Tetapi setelah itu dilakukan, biasanya siswa tersebut akan menjadi lebih baik dengan sendirinya.


Untuk menemukan GURU yang kompeten dalam hal tersebut, maka guest star kali ini juga melakukan wawancara pada tahap seleksi. Hal tersebut untuk mengetahui alasan calon guru untuk mengajar. Sebab dibutuhkan seorang GURU yang mengajar karena sesuai dengan passion dalam dirinya. Sehingga calon guru tersebut diharapkan dapat mengelolaactive learning, timing, dan problem solving dengan baik.


5 Mei 2014

Pe De eR (Milie Lesmana)


     Pada pembahasan kali ini akan sedikit out of topic dari Teknik Wawancara. Praktisi yang didatangkan ke kelas ahli pada bidang pendidikan. Dari sederet ilmu yang dibagikan berdasarkan pengalamannya, ada satu hal yang menarik untuk dibahas kembali, yaitu plan-do-review structure. Beliau adalah seorang kepala sekolah yang menerapkan quiet-active-quiet schedule di kelasnya. Hal ini diilustrasikan paling jelas pada program yang dikenal High/Scope. Pada model ini, anak mengikuti plan-do-review structure: mereka mulai setiap hari dengan reflective teacher-directed group time di mana mereka merencanakan kegiatan bermain mereka. Berikutnya datang masa bermain aktif. Masa tenang yang lain waktu bermain berikut ini, di mana anak memeriksa dan mengevaluasi pencapaian mereka. Pada model ini, child-directed free play dan teacher-guided small-group activities digilir.
     Sistem ini sangatlah baik untuk diterapkan sejak dini, dalam efek jangka pendek dapat membuat seorang anak terbiasa untuk merencanakan kegiatan yang dijalani sehari-hari, dan efek jangka panjangnya ia dapat mengatur dan memiliki tujuan hidup yang lebih jelas. Yah, berhubung penulis blog ini ga pake sistem kayak begini semasa kecilnya jadi begini dah hasilnya.. ampe ud umur setua ini belum tau cita-citanya mau jadi apa...
     Selain direncanakan dan dilakukan, tahap evaluasi menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya. Ini dilakukan supaya apa yang direncanakan dan dilakukan itu sejalan.Biar orang ga lari jauh-jauh banget dari takdir yang udah dia garisin sendiri.
     Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan kali ini adalah program High/Scope yang akhir-akhir ini sering diterapkan di sekolah-sekolah tidak kalah baik dengan program pengajaran sebelumnya. Plan-do-review structure itu sendiri sangat baik untuk dijalankan sehari-hari di kelas.
     Pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya orang dewasa, plan-do-review structure juga dapat digunakan dalam menjalani bahtera kehidupan. Rencana dibuat berdasarkan pertimbangan keinginan dan kebutuhan.Mungkin perlu diingat bahwa manusia boleh berencana, namun Tuhan yang menentukanTindakan sebisa mungkin dilakukan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Ketika tindakan itu tidak sesuai dengan rencana awal, inilah yang menjadi bahan evaluasi. Biasanya evaluasi dilakukan pada waktu malam ketika akan menutup hari.

Selamat menjalankan plan-do-review!


5 Mei 2014

Active Learning??? (Monica Teny)


Active learning adalah suatu proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai cara atau strategi secara aktif. Proses pembelajaran ini untuk mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga semua peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai karakteristik yang dimilikinya, serta untuk menjaga perhatian peserta didik agar dapat tetap tertuju pada proses pembelajarannya.
Apa sey  fungsi “active learning” itu???
Terdapat beberapa fungsi proses pembelajaran dengan active learning, diataranya untuk melatih life skill peserta didik yang sesuai dengan lingkungan hidup dan kebutuhannya, misalnya dalam memecahkan masalah, pserta didik dilatih dan dibiasakan untuk bekerjasama, mendorong peserta didik untuk mandiri dalam melakukan sesuatu, membiasakan pserta didik untuk belajar bertanggung jawab, inisiatif, dan saling tolong-menolong, serta untuk mengembangkan wawasan berpikir anak.
Dari semua proses pembelajaran yang ada (sekolah nasional, sekolah internasional, sekolah nasional plus, home schooling,dll), menurut saya proses pembelajaran active learning beda dari yang lain, di mana proses pembelajarannya tidak seperti proses pembelajaran lainnya (di dalam kelas, duduk manis, fokus dengan buku panduan, kaku, dll) tetapi active learning lebih kepada praktek, anak dapat berekspresi, tidak monoton, kreatif, dan tentunya tidak membosankan karena semua materi pembelajaran disampaikan berupa praktek langsung (bisa dalam rupa permainan, percobaan, dll ketimbang dengan teori) hal tersebut yang menarik dan berbeda dari yang lainnya.
Menurut saya dengan proses pembelajaran seperti ini dapat memudahkan peserta didik untuk memahami materi yang disampaikan. Anak terjun secara langsung dalam pembelajarannya, tidak hanya mengandalkan buku dan berupa khayalan untuk menggambarkan materi yang disampaikan.
Jadi tidak ada salahnya untuk mencoba belajar menyenangkan dengan active learning..JJJ hehehee..
5 Mei 2014

Sharing Praktisi Pendidikan (Elisabeth Gouwtama)



Minggu lalu Ibu Henny dan Ci Tasya mendatangkan seorang praktisi dalam bidang pendidikan yang bernama ibu Aswini. Beliau merupakan seorang academic director di sebuah sekolah internasional yang berlokasi di daerah Pluit. Sekolah tempat ibu Aswini bekerja memang khusus untuk early childhood. Sebelum menjabat sebagai academic director, beliau pernah mengajar sebagai dosen di Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara.
Tugas beliau sebagai seorang academic director adalah untuk memastikan kurikulum sekolah berjalan dengan baik. Selain itu, beliau juga bertugas melakukan wawancara dengan orangtua murid atau orangtua calon murid dan para staff, baik staff akademik maupun staff non-akademik. Beliau juga bercerita bahwa sekolah tempat beliau bekerja berbeda dengan TK conventional. TK tempat beliau bekerja menekankan active learning. Di dalam kelas pada TK beliau bekerja terdapat beberapa area, seperti reading area, writing area, computer area, dll. Anak-anak diberik kebebasan untuk menentukan apa yang mereka ingin pelajari. TK tempat Ibu Aswini bekerja pun tidak terlalu menekankan pembelajaran baca, tulis, hitung kepada para muridnya. Tidak menekankan bukan berarti tidak mengajarkan loh ya. Tetap diajarkan meskipun tidak sebanyak TK pada umumnya. Biasanya untuk mengejar ketinggalan, orangtua para murid akan memberikan les tambahan di luar jam sekolah.
Ketika ibu Aswini menceritakan hal tersebut, saya jadi teringat pengalaman mengajar saya. Saya dulu sempat mengajar di sebuah tempat les yang banyak anak TK-nya. Jujur, ketika pertama kali diminta mengajar anak berumur 3 tahun saya bingung. Saya semakin bingung, ketika orangtuanya meminta saya untuk mengajarkan cara menulis huruf. Yang saya pikirkan adalah gila, apa iya sekolah X ga ngajarin cara menulis? Setelah Ibu Aswini bercerita, saya jadi berpikir mungkin sekolah anak les saya menerapkan kurikulum yang mirip dengan sekolah tempat Ibu Aswini bekerja.
Salah satu sharing dari Ibu Aswini yang menarik minat saya adalah ketika Ibu Aswini bercerita, ia tidak memberikan pujian seperti wow, you look pretty today, atau excellent, atau good job untuk para siswanya. Beliau mengatakan ia tetap memberikan pujian tetapi dengan cara yang berbeda. Beliau akan memberikan kalimat dalam bentuk pertanyaan, misalnya “wah, hari ini X beda ya? Bedanya apa ya?”. Nanti baru X akan menjawab, Ibu Aswini akan bertanya lagi dan akhirnya akan terjalin sebuah percakapan. Cara memuji seperti ini dilakukan agar komunikasi lebih berjalan.

5 Mei 2014

Psikologi Pendidikan Menggunakan Metode Active Learning (Lisa Febriani)


     Dalam dunia pendidikan banyak istilah-istilah yang digunakan sebagai metode belajar-mengajar di dalam kelas, salah satunya adalah pembelajaran aktif (active learning). Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Intinya pada metode tersebut, anak didik tidak hanya diberikan atau “disuapi” dengan berbagai pengajaran, teori, atau apapun yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, pada metode ini siswa harus mengembangkan dirinya sendiri, tentunya sesuai dengan minatnya, siswa harus aktif tidaklah pasif, agar siswa tersebut bisa mandiri dan mampu untuk menghasilkan potensi diri secara maksimal. 

  Salah satu contoh dalam menerapkan pembelajaran aktif ini adalah untuk mengajak anak-anakpreschool di PAUD. Biasanya sekolah-sekolah mengharuskan siswanya untuk menghafal secara teoritis setelah itu siswa akan diberikan sejumlah soal-soal ujian/tes yang akan menilai kemampuan siswa tersebut, namun terdapat cara lain yang juga mampu untuk menghasillkan potensi yang maksimal dari siswa-siswa tersebut. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah sbb:
 
1. Tampilan ruang kelas dan susunan letak barang-barang yang terdapat di dalam kelas di buat semenarik mungkin dan kelas tersebut juga seharusnya dilengkapi barang-barang yang berkaitan dengan minat siswa-siswa namun tetap dengan fokus tujuan pembelajaran. Bagi anak usia dini sekitar 0-6 tahun, ruang kelas yang menarik diikuti dengan fasilitas yang lengkap yang mendukung adanya minat siswa untuk belajar dan bermain sangat diperlukan agar anak merasa tidak jenuh dan selalu bersemangat untuk mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas.


2. Di dalam kelas, siswa hendaknya diberikan mainan atau barang-barang yang aman dan nyaman serta sesuai dengan usianya. Misalnya, seorang anak di rumahnya tidak dibolehkan menyentuh barang-barang milik ibunya seperti panci, wajan, penggorengan, yang sebenarnya mungkin anak ingin sekali mengenali dan memegang benda-benda tersebut, namun di dalam kelas PAUD, hendaknya siswa diberikan benda-benda yang tidak boleh dipegangnya di rumah, namun tetap dalam konteks yang aman dan nyaman bagi anak tersebut. 


3. Guru yang mengajar di dalam kelas hendaknya juga melakukan observasi kepada siswa-siswanya untuk melihat bagaimana siswa tersebut berinteraksi dengan siswa lain, dan juga agar guru dapat cepat tanggap memahami kebutuhan siswa dan membantu siswa ketika siswa mengalami kesulitan.


4. Anak juga harus diajarkan cara tertib dan disiplin sejak dini agar terhindar dari hukuman. Contoh yang dapat diterapkan adalah, dalam suatu ruang kelas terdapat 1 buah komputer, yang mana pasti lebih dari satu orang anak ingin menggunakannya. Bagaimana caranya agar anak dapat tertib dan disiplin? Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memberikan jam pasir sebagai pengatur waktu. Adanya aturan bahwa ketika satu anak sedang bermain komputer, maka jam pasir digunakan sebagai pengukur waktu kapan anak tersebut mulai dan kapan anak tersebut berhenti bermain, setelah itu ketika ada temannya yang lain ingin bermain, maka temannya tersebut harus mengantri. Inilah cara yang dapat digunakan agar anak belajar dengan tertib dan disiplin.

5 Mei 2014


Ilmu baru, Pengalaman baru, dari Praktisi Pendidikan (Kirty Andika Putri)

Kalau kelas teknik wawancara minggu lalu kelas kami kedatangan praktisi di bidang PIO, Selasa kemarin (29/3) kelas kami kedatangan praktisi di bidang pendidikan. Praktisi yang datang adalah seorang  praktisi pendidikan di salah satu sekolah Pra-Sekolah dan Taman Kanak-Kanak di Jakarta. Teknik wawancara yang dilakukan beliau salah satunya adalah bertujuan untuk mengawasi jalannya program sekolah. Wawancara yang dilakukan beliau dilakukan pada orangtua murid, guru yang mengajar di sekolah, dan staff non-akademis yang bekerja di sekolah tersebut.


Wawancara yang dilakukan praktisi pendidikan dengan orangtua murid yang pertama adalah bertujuan untuk memberitahukan kurikulum yang berlaku di sekolah. Sekolah tempat beliau bekerja menerapkan program active learning, dimana murid dapat belajar sambil bermain, atau dengan mengeksplorasi yang ada di sekitarnya, murid-murid diajarkan untuk melatih keterampilannya. Di sekolah tersebut, murid-murid dapat pergi ke area-area tertentu untuk belajar, seperti area writing, reading, drawing, dan area lain yang totalnya ada 12 area. Dalam proses belajar, murid diajarkan untuk menerapkan P.D.R (Plan-Do-Review). Pada plan, murid dibiasakan untuk membuat rencana tentang kegiatan yang akan dilakukan dalam satu hari di sekolah. Kemudian pada murid akan melaksanakan do, disini akan dilihat apakan murid melakukan kegiatan sesuai dengan rencana yang sudah dilakukan atau tidak. Pada akhir pertemuan, akan dilakukan review dimana akan guru dan murid akan recall time tentang kegiatan yang dilakukan selama satu hari. Selain itu, dilakukannya wawancara adalah untuk mengetahui tentang siswa, seperti penyakit, perlakuan berbeda, atau alergi yang dialami murid.

Untuk wawancara dengan calon guru, pihak sekolah perlu untuk mengetahui apa yang membuat calon guru itu tertarik untuk mengajar. Selain itu dari wawancara juga dapat diketahui kemampuan yang dimiliki calon guru tersebut, seperti kemampuan berbahasa atau hubungan interpersonal. Kemudian setelah melakukan wawancara, calon guru tersebut harus melakukan pelatihan selama 6 minggu. Setelah melakukan pelatihan dan menjadi guru, minimal sekali dalam satu tahun guru yang mengajar disarankan untuk melakukan wawancara kembali mengenai pekerjaan yang dilakukan. Staff non-akademis, seperti marketing, office boy, atau security di sekolah tersebut juga harus melewati proses wawancara. Hal ini dilakukan untuk lebih meningkatkan kerjasama dan komunikasi antar staff dan pihak sekolah.


Ilmu dan pengalaman baru ini menantang dan menyenangkan kaaaan.. Ayo siapa yang mau menyusul jadi praktisi pendidikan juga? :P

3 Mei 2014

There’s No Need To Freak Out (Zafirah Qaddura)

    Psychoanalytic mengatakan bahwa paraphilia diakibatkan oleh kesusahan mengemukakan bahwa pelaku mengalami eodipal crisis dan castration anxiety. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa hal ini lebih sering terjadi pada laki-laki, karena laki-laki dan perempuan memiliki identitas yang kuat mengenai ibunya, namun anak perempuan dapat melanjutkan identitasnya tersebut, sedangkan laki-laki harus memisahkan diri dari ibunya untuk dapat membangun identitas laki-laki.

     Setiap paraphilia berhubungan dengan masalah maskulinitas dan femininitas, contohnya saja pada orang yang menunjukkan alat kelaminnya di depan publik (exhibitionist), dapat dikatakan sebagai laki-laki yang menutupi perasaannya akan ketidakmaskulinitasannya, ia seakan berkata Let me prove thatI am a man by showing that I possess the instrument of masculinity.” Ia bahkan juga perlu menunjukkan bahwa penis-nya mampu memberikan rasa takut, mungkin karena itulah para exhibitionist memilih wanita muda sebagai korban, karena wanita muda lebih sering menunjukkan rasa takutnya.
image
image
image
image
    Karena kita sudah mengetahui apa yang menyebabkan perilaku exhibitionist itu, sekarang yang perlu kita ketahui adalah apa yang harus kita lakukan jika kita bertemu dengan exhibitionist tersebut. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah tetap tenang, jangan menunjukkan kepanikan. Kepanikan kita adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh pelaku. Hal itulah yang memberikan kepuasan seksual bagi si pelaku. Oleh karena itu sebaiknya kita tetap tenang dan tidak menunjukkan kepanikan, apalagi berteriak, atau melakukan hal lainnya yang menunjukkan bahwa kita takut.
     Apabila Anda bertemu exhibitionist saat Anda sedang berjalan kaki, lanjutkan perjalanan Anda seakan-akan tidak ada yang terjadi. Orang-orang seperti itu tidak akan berani mendekati Anda, jadi Anda tidak perlu khawatir. Mereka cenderung tidak akan melakukan hal-hal yang dapat menyakiti atau melukai Anda.
Terimakasih telah meluangkan waktu Anda untuk membaca blog ini :)

9 Mei 2014

"Amoy" (Elaine Magracia Wingardi)


"Amoy" biasanya panggilan asal-asalan yang ditujukan kepada gadis keturunan Tiong-hoa yang matanya sipit dan kulitnya putih. Disini saya akan menceritakan kenapa jangan menoleh kalau dipanggil "Amoy". Selain panggilan itu terlalu rasis menurut saya, lagipula memang tidak sopan memanggil seseorang yang tidak dikenal dengan cara seperti itu. Sepertinya sama saja bentuk pelecehan seksual secara oral, sejenis dengan siulan ataupun panggilan lain dari pria untuk wanita tidak dikenal yang lewat di depannya.Walaupun belakangan saya tahu kalau "amoy" itu artinya cantik. Haruskah para "Amoy" mengucapkan terima kasih? Saya rasa tidak. Selain itu, ada pengalaman kurang enak yang pernah saya alami terhadap panggilan tersebut.
Mata kuliah perilaku seksual minggu ini membahas mengenai berbagai gangguan perilaku seksual seperti fethisism, sado-masochism, exhibitionism, dan lain-lainnya. Pembahasan tersebut mengingatkan saya tentang pengalaman yang pernah saya alami, maka tulisan kali ini akan saya gunakan untuk berbagi mengenai pengalaman saya tersebut. Dua kali bertemu dengan seorang yang exhibionism. Dengan pengalaman yang hampir sama persis.
Pertama, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, kira-kira berusia 8 tahun. Saat itu saya masuk kelas pukul 12.15 siang. Sekolah saya tidak mengijinkan para pedagang untuk berjualan di luar arena sekolah. Karena itu saya berjalan ke luar sekolah. Saat itu saya memutuskan untuk berjalan sekitar 25 meter dari luar gerbang sekolah untuk mencapai tempat jajan favorit yang berada di sekolah tetangga, yaitu pisang molen mini. Membelinya dengan harga 3000 rupiah dan saya berhasil mendapatkan 10 buah. Rasanya senang sekali.
Setelah selesai, saya berbalik untuk kembali berjalan ke sekolah saya. Baru berjalan sekitar 4 meter, suara seorang pria dewasa memanggil saya dari belakang “Amoyy…!!”. Reflek saya menengok ke belakang, ternyata seorang bapak-bapak yang berpakaian kemeja dan celana bahan dengan retsleting terbuka yang memanggil saya. Tangan kirinya menggenggam kemaluannya, menunjukkannya, dan tersenyum pada saya (bagian ini tidak lagi begitu saya ingat jelas, bahkan saya tidak pernah ingin megingatnya dengan jelas). Saat itu saya hanya bisa kembali membalikan badan, menggenggam erat bungkusan makanan saya, dan berjalan pelan untuk kembali ke sekolah.
Saya sadari suhu tubuh saya menjadi panas dan sangat tidak nyaman. Betapa saya membenci pria tersebut dan memakinya dalam hati “Gak tau malu banget siihh!!!!”. Sesampainya di sekolah, saya menangis di kamar mandi. Saya merasa malu terhadap diri saya sendiri, dan tentunya merasa bodoh karena menengok untuk panggilan yang tidak di kenal. Lagi pula, belum, tentu saya adalah “Amoy” yang di maksud. Tapi namanya juga reflek, apalah daya. Sepulang ke rumah saya menceritakannya pada ibu saya tercinta, beliau menjelaskan pada saya bahwa pria seperti itu memang sakit jiwa. Ada beberapa orang gila yang memang senang menunjukkan alat kelaminnya. Bahkan beliau menceritakan bahwa baru beberapa minggu lalu pembantu saya pulang ke rumah dengan menangis karena baru saja bertemu dengan pria yang sejenis.
Saat itu saya menjadi lebih mengerti. Walaupun pengetahuan saya tidak sedalam setelah sekarang memasuki pendidikan psikologi. Tapi setidaknya apa yang dikatakan ibu saya telah menyadarkan saya bahwa tidak ada gunanya merisaukan pria tersebut. Mungkin itu juga bukan kemauannya sendiri, harusnya malah dikasihani. Karena rasa malunya sudah hilang sampai harus memamerkan kemaluannya.
Waktu berjalan, tidak lagi saya menemukan kejadian spesifik yang seperti itu denganexhibitionist. Hanya melihat orang gila yang tidak berpakaian di jalanan memang sering, tapi tidak lagi ada panggilan “Amoy” yang berkelanjutan “pameran yang tidak senonoh”. Sampai akhirnya, sekitar 3 bulan lalu.
Pagi sepi, terlihat dari atas jembatan kalau jalanan tidak begitu macet, dan udaranya sejuk. Saya berjalan kaki selama sekitar 7 menit untuk menuju ke kampus. Seperti biasanya saya akan berjalan di atas jembatan untuk menyebrang. Jembatannya cukup panjang dan saat itu sepi, betul-betul sepi dan hanya saya seorang diri (setidaknya sepengelihatan saya tidak ada orang lain selain saya). Saya berjalan menyusuri jembatan tersebut, fokus pengelihatan saya ke arah kiri. Sudah hamper sampai di ujung jembatan, dan panggilan asing kembali terdengan “Amoyy….”. Reflek itu terjadi lagi, saya menengok ke kanan. Tepat di sebelah kanan saya terdapat seorang pria berjaket hitam, celana denim cokelat dan retsletingnya terbuka. Tangan kanannya memegang alat kelaminnya dan ia tersenyum pada saya.
Oh Tuhan! Tidak lagi… panggilan yang sama, kejadian yang sama. Mungkin setelah ini saya tidak akan pernah menengok untuk panggilan “Amoy” lagi. Saat itu saya hanya meliriknya dengan ekspresi wajah yang bingung, dan kembali melanjutkan perjalanan saya dengan “santainya” (gaya aja jalan ampe ujungnya pelan-pelan, padahal udah di tangga mah lari juga siihh). Tapi karena saya sudah banyak mendengarnya di psikologi, saya menjadi lebih terbiasa dan mencoba menghadapinya dengan lebih tenang.
Jadi, apa itu exhibitionism? Itu adalah kondisi di mana seseorang mendapatkan kepuasan seksual bila berhasil menunjukkan alat kelaminnya pada orang lain dan kepuasannya muncul dari rasa takut yang dimunculkan oleh korbannya. Kesimpulannya, semakin korban berteriak, makla pelaku akan semakin senang dan puas. Biasanya gangguan ini muncul pada orang-orang yang merasa tidak percaya diri secara seksual. Maka memamerkannya akan menjadi cara untuk memastikan apakah ukuran “kepunyaan” mereka cukup membuat orang lain menyukainya, terkejut, dan takut atau tidak.
Pelaku exhibitionist tidak hanya pria, tapi juga bisa wanita yang memamerkan bagian-bagian pribadi tubuhnya. Para exhibitionist dapat mencapai kepuasan hanya dengan melihat reaksi dari korban tanpa harus banyak melakukan stimulasi pada alat kelaminnya. Dari sinilah, cara paling ampuh dalam menghadapi para pelaku exhibionist adalah dengan mengabaikan mereka dan tidak memberikan reaksi takut sama sekali. Bila anda berani dan tega, lakukanlah tatapan atau perkataan “menghina” atau “merendahkan” terhadap alat kelamin pelaku, karena hal ini akan menurunkan self-esteem pelaku. Misalnya memberikan senyum meledek dan berkata “gak jelas banget sih”, atau mungkin “yaelaaah, segitu doank”. Ini akan sangat berdampak pada kepercayaan diri mereka sehingga akan menurunkan intensitas perilaku mereka. Sebaliknya, bila korban memberikan pujian ataupun biasanya lari ketakutan, maka akan semakin di kejar dan pelaku merasa senang. Walaupun sebenarnya pelaku exhibionist sangat kecil kemungkinannya untuk melakukan pemerkosaan pada korban. Karena bukan itu letak kepuasan seksualnya.
Jadi harus bagaimana kalau bertemu dengan para pelaku tersebut? Paling aman ya mencoba bersikap santai dan biasa saja, anggap saja tidak ada mereka, dan sebisa mungkin tidak menampilkan perubahan perilaku selama di depan mereka. Bila pengalaman panggilan “Amoy” saya saat SD kembali di kaji, saya rasa saya sudah melakukan cara yang cukup tepat saat itu dengan sama sekali tidak berlari, namun hanya tetap berjalan santai. Walaupun setelahnya saya menangis, namun setidaknya tdak di depan pelaku. Begitupun tindakan yang saya lakukan dalam kejadian “Amoy” pada pelaku exhibionist di jembatan. Tapi tentunya saya sama sekali tidak berharap untuk bertemu dengan orang-orang yang sejenis itu lagi.

10 Mei 2014