Awalnya saya berpikir,
kenapa wawancara saja perlu ada teknik khususnya? Padahal wawancara yah...
mudah saja, tinggal bertanya dan menunggu jawaban dari orang dan kemudian kita mencatat
apa saja yang dikatakan mereka.
Namun saat saya mendengarkan
hasil wawancara dari teman-teman saya terhadap psikolog klinis dewasa dan
psikolog klinis anak, saya baru mengerti bahwa ternyata wawancara dengan orang
itu tidak semudah yang saya bayangkan. Apalagi jika yang saya wawancarai adalah
orang yang “sakit”.
Wawancara dengan klien ternyata
ada tantangannya tersendiri. Tidak semua klien akan dengan mudah menceritakan
masalah yang mereka hadapi. Tentunya kita harus pandai menggali apa yang
sebenarnya terjadi pada mereka. Belum lagi, kita juga harus pandai
menyembunyikan emosi kita sendiri agar terlihat netral di depan klien. Jika
mereka menceritakan hal yang menyedihkan, kita tidak boleh ikut menangis, jika
mereka menceritakan hal memalukan yang terjadi padanya tentu kita tidak boleh
menertawakannya. Kita harus stay cool terhadap
masalah apapun yang diceritakan mereka.
Saya baru tahu, ternyata
psikolog yang sudah professional tidak lagi merekam wawancaranya dengan klien.
Ia hanya mencatat segala sesuatu yang diceritakan oleh klien. Saya pikir, merekam
hasil wawancara adalah hal yang biasa dilakukan oleh psikolog, ternyata tidak
juga. Adakalanya mereka merekam hasil wawancaranya tersebut hanya sebagai feedback untuk dirinya sendiri apakah
teknik wawancaranya sudah lebih baik atau belum.
Wawancara dengan orang
dewasa yang “sakit” saja sudah cukup sulit, bayangkan apalagi wawancara dengan
anak-anak yang “sakit” juga. Tentu, tantangannya akan 2x lebih berat daripada
wawancara dengan orang dewasa.
Menurut saya, salah satu hal
yang penting untuk menjadi seorang psikolog anak adalah tentunya, mereka harus
menyukai anak-anak. Bayangkan jika psikolognya tidak suka dengan anak kecil,
tentunya tidak mungkin dapat menangani masalah anak tersebut. Bukannya sembuh,
jangan-jangan anaknya menjadi lebih parah karena di marahi oleh psikolog yang
sudah kerepotan dengan tingkah anaknya.
Namanya juga anak-anak,
tentu yang paling mereka sukai adalah mainan. Pastinya, untuk menjadi seorang
psikolog klinis anak, kita harus mempunyai modal lebih dibanding menjadi
psikolog klinis dewasa. Kita harus menyiapkan berbagai mainan yang mendukung
agar anak tersebut senang dan mau bercerita pada kita. Tidak hanya itu, tempat
praktek kita juga harus di modif sedemikian rupa agar anak merasa “betah”
berada di tempat kita.
Ada beberapa cerita dari
dosen saya yang telah berpengalaman bahwa menjadi psikolog anak akan lebih
repot dibanding psikolog dewasa. Kita harus mengikuti kemanapun si anak pergi,
begitu pula saat mereka berlari ke sana - ke sini. Itu akan menguras tenaga
lebih banyak.
Meskipun demikian, saya justru menjadi lebih tertarik untuk menjadi
psikolog klinis anak karena menurut saya tantangan inilah yang akan membuat
saya lebih termotivasi. Untungnya, saya cukup menyukai anak-anak sehingga
mungkin akan mengurangi sedikit beban saya nantinya.
6 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar