Sabtu, 23 Maret 2013

Recipe of Disaster! (Levina Sutiono)


Pada post kali ini saya akan membicarakan kesan yang saya dapatkan ketika saya mengikuti perkuliahan Perilaku Seksual hari kamis kemarin. Hari itu, terdapat dua kelompok yang mempresentasikan materinya masing-masing. Saya termasuk salah satu kelompok yang mendapat giliran presentasi hari itu. Tema presentasi yang kelompok kami bawakan saat itu adalah Divorce.

Pada saat saya menyiapkan bahan presentasi beberapa hari sebelumnya, saya terkesan dengan satu kalimat yang ada dsalam buku Sexuality Now: Embracing diversity. Buku tersebut ditulis oleh Janell L. Carroll, dan dalam buku tersebut tertulis satu kalimat yang menurut saya cukup unik. Kalimat tersebut adalah ...
"Marrying a person with the intention to change his or her personality or bad habits is a recipe for disaster."
Yap, recipe of disaster. Saya personally terkesan dengan kalimat tersebut, karena memang saya melihat banyaknya perceraian yang terjadi saat ini dilandasi oleh alasan-alasan cliche seperti "Kita uda ga cocok lagi, bla bla bla"

Well, terkadang memang pasangan yang bercerai membuat penilaian yang buruk sebelumnya mengenai pasangan mereka. Banyak pasangan bercerai yang sebenarnya sudah mengetahui sifat atau kebiasaan buruk dari pasangannya namun tetap bersikukuh untuk menikahi pasangannya tersebut. Alasannya seringkali karena mereka mencintai pasangan mereka. That's it. Sekuat itukah cinta tersebut hingga cinta tersebut dapat menutupi segala hal-hal buruk mengenai pasangan? Nampaknya tidak bagi pasangan-pasangan yang akhirnya memutuskan untuk bercerai.

Menurut saya pribadi, tidak salah apabila seseorang tetap ingin menikahi pasangannya walaupun mereka tahu bahwa ada sifat atau kebiasaan buruk dari pasangannya yang mungkin masih belum berubah sepenuhnya saat mereka masih berpacaran. Tidak salah juga apabila seseorang berharap pasangannya yang dinilai memiliki kebiasaan buruk tersebut dapat mengubah sifat dan kebiasaan buruk mereka setelah mereka menikah kelak.

Hal tersebut menurut saya mungkin saja terjadi. Saya melihat beberapa pasangan yang setelah menikah, mereka akhirnya mengubah kebiasaan buruk mereka yang tidak disukai oleh pasangan mereka. Seringkali hal tersebut dilakukan demi pasangan dan anak mereka. Namun, hal tersebut tentu hanya akan terjadi apabila memang pihak yang ingin diubah kebiasaan buruknya tersebut sadar akan kebiasaan buruk yang mereka miliki dan memiliki kesadaran pula untuk mengubahnya. Perubahan kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang lebih baik seperti yang diharapkan tentu saja dapat terjadi :)

Namun..apabila pihak yang ingin diubah kebiasaan buruknya tersebut tidak terlihat memiliki kesadaran untuk berubah serta tidak terlihat adanya tanda-tanda untuk mengubah kebiasaannya tersebut, untuk apa hubungan tersebut dilanjutkan? Jika memang kita merasa bahwa kita tidak akan mampu untuk mentolerir kebiasaan buruk pasangan kita tersebut bahkan jauh sampai kita telah menikah nanti, untuk apa diteruskan? Apabila kasusnya seperti ini, saya setuju dengan pendapat Carroll tersebut.

Namun di sisi lain, apabila memang kita merasa siap untuk menerima pasangan kita tersebut apa adanya, bahkan dengan seluruh kebiasaan buruk yang mereka miliki, sok monggo diteruskan hubungannya sampai ke jenjang pernikahan :)

Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki pasangan yang mempunyai kebiasaan buruk tertentu yang tidak kita sukai? Apakah mereka terlihat memiliki keinginan untuk mengubahnya? Atau apakah kita siap untuk menerima mereka apa adanya, bahkan dengan seluruh kebiasaan buruk yang mereka miliki? :)
Well, sekian ulasan dan opini dari saya. Semoga dapat menjadi bahan perenungan bagi kita semua agar kelak kita dapat menjauhi diri dari "perceraian" itu sendiri :)

15 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar