Minggu, 24 Maret 2013

Its not about me (Melissa Magdalena)


Hari Kamis yang ditunggu-tunggu akhirnya datang lagi dan menyapa pada tanggal 14 Maret 2013. Pada kelas Teknik Wawancara kelas C kali ini membahas tentang ” Ketrampilan Dasar Wawancara”. Di slide awal dipaparkan apa yang harus dikuasi , terdiri dari 6 point. Rasanya cukup mudah untuk dimengerti dan mungkin diterapkan dalam kehidupan nyata. Namun setelah presentasi berjalan, rasanya mengapa tidak semudah yang dibayangkan, mengapa point-point tersebut menjadi lebih rinci dan kompleks…….

Di akhir presentasi muncullah banyak pertanyaan yang diawali dengan kata mengapa

Mengapa harus repot-repot senyum, mengontrol ekspresi muka, tidak boleh angkat telepon untuk membina rapport dengan interviewee?
Mengapa harus bisa memahami perasaan interviewee dengan empati? Sedangkan tidak semua pengalaman orang lain pernah kita alami lantas bagaimana caranya dapat ikut turut merasakannya…
Mengapa harus sangat mengontrol diri untuk tidak berbicara dan menerapkan attending behavior? Bagaimana untuk seseorang yang suka berbicara, ini akan menjadi hal yang paling sulit dilakukan.
Mengapa bertanya saja harus ada aturan seperti tidak boleh bertanya “mengapa” seperti yang sekarang dipertanyakan? Bukankan bertanya itu hal yang mengalir saja…
Jika harus mengikuti point-point di atas saja sudah begitu rumit mengapa harus ditambah lagi dengan membagi perhatian untuk melakukan observasi?
Dan mengapa juga harus mengerti tentang active listening?
Jika berpikir dengan cara seperti di atas memberikan kesan bahwa melakukan wawancara yang baik dan benar itu sangat-sangat sulit karena diatur dengan sekian banyak syarat.

Saya menunda penulisan blog ini karena terus berpikir mengapa begitu sulit, mengapa rasanya seorang interviewer harus berkorban begitu banyak untuk melengkapi ketrampilan dasar wawancara… Kadang dengan terus bertanya dan bertanya membuat anda semakin dapat lebih paham akan apa yang ada pertanyakan.. Seperti kali ini akhirnya…

Saya mendapat jawaban juga… Kenapa saya bertanya sekian banyak karena saya melihat wawancara dari posisi seorang interviewer; melihat setiap usaha yang dikeluarkan dari perspektif interviewer sehingga terkesan bahwa seorang interviewer amat sangat repot, berkorban, sulit atau terpaku sekali.

Haruslah diingat hai Melissa dan hai para calon interviewer yang budiman, wawancara bukan tentang anda, sehingga mari kita mengesampingkan dulu si “Aku” yang ingin dimengerti dan maunya nyaman dengan fokus pada interviewee andaikata dalam hal ini adalah klien. Masalah klien menjadi fokus utama, bukan sebaliknya memfokuskan kebiasaan yang suka berbicara lalu curcol (curhat colongan) pada setiap pengalaman yang kalian ungkapkan.

Jadi intinya sekali lagi  bukan tentang “Aku” tapi ini tentang klien  yang ingin mengutarakan permasalahannya dan sebagai seorang interviewee memang sudah tugasnya lah untuk mendengar, memahami dan mengutamakan kesejahteraan klien. Dengan dapat mensejahterahkan mental klien, kita juga berlatih mensejahterakan mental sendiri dengan cara dapat memposisikan diri dengan tepat.

Its not about I but its all about my client’s happiness.

20 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar