Sabtu, 23 Maret 2013

It’s a Long Day..(Meylisa Permata Sari)


    Acara mata kuliah Teknik Wawancara minggu ini adalah melanjutkan presentasi hasil wawancara terhadap para praktisi. Jika minggu lalu telah dibahas tentang praktisi klinis, maka kali ini yang dipresentasikan adalah hasil wawancara terhadap praktisi PIO dan Psikologi Pendidikan. Pertemuan minggu ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama untuk membahas tentang praktisi di bidang PIO, sesi kedua untuk praktisi di bidang Psikologi Pendidikan. Ada sesuatu yang berbeda di kelas tersebut dari minggu lalu.. Apa ya..? Ternyata.. Ibu Henny tidak masuk kelas karena ada keperluan. Alhasil.. Terjadi sesuatu yang akan saya ceritakan di akhir artikel ini. Seperti di minggu sebelumnya, ada banyak hal yang dapat diceritakan, namun karena keterbatasan saya sebagai penulis, dengan berat hati saya akan menceritakan yang menarik.

     Kita awali dengan presentasi mengenai PIO. Ada sebuah kelompok yang menceritakan hambatan yang dialami oleh narasumbernya saat awal-awal melakukan wawancara, yaitu saat narasumber itu harus mewawancarai orang dengan usia yang lebih tua. Saya berpikir, “Hm.. Kenapa ya? Tanya ah..”. Setelah saya bertanya, kelompok menjawab bahwa menurut praktisi yang mereka wawancarai, saat diawal-awal harus mewawancarai orang, praktisi tersebut belum memiliki banyak pengalaman, jadi ia merasa minder dan grogi dengan yang lebih tua karena telah lebih banyak makan asam garam, dan cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan latihan sering-sering. Semakin sering latihan, maka kita akan semakin terbiasa untuk mewawancarai orang lain.

     Di akhir kelompok tersebut mempresentasikan hasil mereka, Kak Tasya menceritakan pengalamannya saat awal-awal mendampingi Ibu Henny untuk mewawancarai orang auditor di Kalimantan. Tidak lupa beliau juga memberikan tips-tips saat mewawancarai orang yang lebih senior, beberapa di antaranya adalah pakai blazer agar kelihatan lebih profesional, kemudian pakai bahasa yang formal saat berbicara, buat kontak mata dengan interviewee, dan jangan terlalu banyak membuka informasi personal seperti usia.

     Kemudian ada kelompok yang memberitahu bahwa praktisinya mengatakan saat wawancara kerja, kalau bisa jangan menyinggung ras. Menurut saya, ada beberapa situasi di mana menanyakan ras itu justru crucial. Contoh saat seseorang ingin dipekerjakan di daerah suku D, kalau yang dikirim orang M, wah bisa gawat. Namun ternyata tidak sebatas hal itu, Kak Tasya mengatakan bahwa beberapa (atau banyak) perusahaan yang masih rasis, dan hal tersebut di PIO masih cukup kental. Banyak user yang tidak ingin menerima karyawan dari suku A, atau hanya ingin menerima dari suku B, dan sebagai orang yang diminta untuk merekrut harus mengikuti permintaan user.

     Setelah tiga kelompok PIO mempresentasikan hasil wawancara, giliran kelompok Psikologi Pendidikan yang mempresentasikan hasil mereka. Jujur saja, untuk memperhatikan kelompok Psikologi Pendidikan sedikit sulit karena suasana yang ribut, mana tidak ada mikrofon agar dapat mendengar hasil presentasi lebih baik. Namun saya menangkap beberapa hal yang menarik. Saat bersekolah dulu, jujur saja saya menganggap guru BK itu sangat uptight. Jika dipanggil ke ruang mereka, berarti seseorang memiliki masalah dan menurut saya mereka terlalu mengstreotipkan murid. Tapi ada sebuah kelompok yang menceritakan bagaimana cara praktisi yang mereka wawancarai berhubungan dengan murid-murid di sekolahnya bekerja. Praktisi tersebut membangun hubungan personal dengan murid di sekolah tersebut (dapat dikatakan) satu per satu. Jika ada murid yang terlihat menurun prestasi atau hubungan sosialnya, ia akan mendekati murid tersebut secara tidak kentara, sehingga tidak membuat anak tersebut memiliki konsep negatif. Kak Tasya menambahkan bahwa di bidang pendidikan, seorang praktisi harus terbuka dengan murid-muridnya agar murid-murid tersebut juga tidak membuat defense ataupun merasa terintimidasi. Menurut saya ini lah beda antara praktisi Psikologi Pendidikan dengan PIO, saat praktisi PIO harus membatasi diri, praktisi Pendidikan justru harus open dengan para murid.

     Kemudian ada sebuah kelompok yang mewawancarai praktisi Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Setelah mendengar presentasi mereka, saya lebih merasa bahwa tidakkah bahan mereka lebih ke arah klinis, karena lebih ke arah terapi, diagnostik, dsb. Kelompok menjelaskan bahwa praktisi mereka memang ke arah bagaimana agar ABK tersebut dapat memperoleh pendidikan kedepannya, bukan membahas kurikulum. Kak Tasya juga memberitahu bahwa psikologi pendidikan dengan psikologi klinis itu sulit untuk dipisahkan.

       Dari pertemuan yang telah saya ikuti selama dua minggu ini, dapat saya simpulkan bahwa:
a. Dalam mewawancarai itu butuh rapport, bahkan untuk bidang PIO sekalipun agar interviewee lebih merasa relax.
b. Wawancara itu butuh jam terbang. Semakin sering mewawancarai, semakin ahli.
c. Semua teknik itu memiliki kekurangannya masing-masing, karena itu harus dikombinasikan dengan teknik lain agar hasilnya lebih valid, yaitu dengan mengombinasikan: WAWANCARA + OBSERVASI + TES.

7 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar