Minggu, 17 Maret 2013

Industrial Psychologist, and the Difference Between Educational Psychologist and School Psychologist (Lusiana Rio Santoso)


Pada kelas Teknik Wawancara hari ini, dibahas mengenai tugas-tugas dan bagian dari psikolog industri dan pendidikan. Pada psikolog industri, biasanya tugas mereka adalah melakukan seleksi penerimaan karyawan dan memaintain kerja karyawan, terutama yang masih dalam masa percobaan 3 bulan kerja. Pada bidang industri, biasanya posisi HRD tidak hanya dipegang/dikuasai oleh mereka yang berasal dari latar belakang pendidikan S1 psikologi, ada juga yang dari bidang Teknik, Hukum, dan lain-lain. Namun karena terbiasa mewawancarai dan menyeleksi karyawan, sedikit banyak mereka pun paham bagaimana caranya mewawancarai dan mengobservasi orang lain selayaknya psikolog. Bahkan ada juga yang memiliki kemampuan interview dan observasi lebih baik dari HRD yang berlatar belakang psikologi. Semua tetap tergantung oleh pengalaman yang telah didapat dalam menjalani pekerjaan mereka.

Lalu ada juga pembahasan mengenai psikolog dalam dunia pendidikan. Dewasa ini, mulai dicanangkan aturan bahwa guru konseling itu haruslah mereka yang berasal dari bidang pendidikan konseling, bukan psikologi pendidikan. Hal tersebut dikarenakan kecemasan pemerintah dimana lahan pekerjaan para guru lulusan pendidikan konseling “diserobot” oleh mereka yang berlatar belakang psikologi pendidikan.
Mereka (pemerintah) mulai membeda-bedakan, dan menciptakan semacam batasan bagi profesi psikolog pendidikan dan pendidikan konseling. Pada dasarnya, orang awam mungkin akan berpikir bahwa keduanya sama saja, baik guru konseling yang berlatar belakang pendidikan konseling maupun psikolog pendidikan. Saya sendiri baru benar-benar memahami detail perbedaan kedua profesi tersebut dari kelas Teknik Wawancara hari ini. Guru konseling rata-rata adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan konseling. Tugas mereka hanya berkisar di dunia pendidikan. Meski mereka juga memberikan nasihat-nasihat psikologis dan mewawancarai siswa seperti hal-nya psikolog pendidikan, namun mereka tidak dapat menyentuh tugas-tugas yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang merupakan lulusan psikologi pendidikan. Sementara jika berlatar belakang psikologi pendidikan, mereka bisa menjadi guru konseling maupun psikolog pendidikan.

Ada juga pembahasan mengenai perbedaan antara psikolog pendidikan dengan psikolog sekolah. Psikolog pendidikan adalah psikolog yang bertanggung jawab terhadap struktur dari dunia pendidikan dan segala problem yang ada di dalamnya. Sedangkan psikolog sekolah hanya berkutat di lingkungan sekolah beserta isinya (masalah siswa, pengajar, dan sistem pembelajaran di sekolah tersebut).

Entah itu pekerjaan sebagai psikolog industri maupun pendidikan, tentu saja ada banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Pada bidang industri, biasanya yang dihadapi adalah sulitnya menilai performa seorang calon pekerja hanya dengan interview yang tidak selalu efisien. Maka terkadang diperlukan juga adanya psikotes untuk menguji lebih lanjut apakah calon pekerja itu layak untuk bekerja di suatu perusahaan atau tidak. Dalam dunia psikologi pendidikan dan konseling, masalah yang dihadapi biasanya berkaitan dengan siswa atau sistem pembelajaran di tempat bekerjanya yang tidak efisien bagi siswa-siswa di sekolahnya. Dan menurut beberapa teman yang memberi pendapat, ada yang berkata bahwa guru konseling itu biasanya diremehkan dan ditakuti (atau mungkin dibenci) oleh para siswa, terutama siswa-siswa yang nakal dan sering membuat masalah. Ibu Henny, kembali dengan kisah-kisahnya yang menurut saya sendiri sangat inspiratif, mengungkapkan bahwa semua itu kembali kepada pribadi guru konseling itu sendiri. Ada guru konseling yang disukai, dan memang ada juga yang dibenci dan tidak dihargai oleh siswanya. Hal tersebut membuat saya tertarik untuk benar-benar memahami pola pikir remaja dan segala problematikanya. “bahkan anak yang bengal sekalipun kalau diajak bicara dan didengarkan pasti mau” kira-kira begitulah ucapan ibu Henny. Dari sana, saya berpikir… “ah, kalau begitu bagaimana dengan anak yang dulu membully saya ya? Apakah dia juga sebenarnya memiliki problem yang membuatnya jadi seperti itu?”. Dari sana saya mulai menyadari, jika terjadi kasus bullying, bukan hanya korbannya yang diperhatikan, namun juga pelaku bullying itu sendiri harus kita cari tahu latar belakang dan motif mengapa ia melakukan hal semacam itu pada siswa lain. mendengarkan presentasi mengenai konseling, saya jadi teringat guru konseling saya semasa SMA (sedikit curhat). beliau lah yang menginspirasi saya hingga akhirnya saya memilih mengambil jurusan psikologi. dulu, saya adalah korban bullying, kenapa korban? karena saya merasa tidak pernah berbuat salah pada anak yang membully saya. bahkan bicara pun tidak pernah. saya pernah hampir putus asa dan ingin berhenti sekolah di kelas 2 akibat pengalaman bullying tersebut. saya bahkan pernah dihadapkan pada calon psikolog yang sedang ada kunjungan ke sekolah dan itu adalah pertama kalinya saya menangis karena permasalahan tersebut. sejak saat itu juga saya selalu terbuka terhadap guru konseling saya. ada juga anak lain yang seperti saya, anak laki-laki. namun ia tidak seterbuka saya dalam menceritakan problem yang ia hadapi kepada guru konseling tersebut. mungkin karena beliau adalah seorang wanita, sehingga ia malu untuk terlihat lemah di hadapan beliau. dari sana saya pikir perbedaan jenis kelamin antara guru konseling dan siswa juga mempengaruhi sikap siswa kepadanya. Pengalaman saya semasa SMA mungkin sedikit banyak akan membuat saya menjadi subjektif dalam menilai pelaku bullying, karena itu untuk saat ini, saya akan mulai mengembangkan empati dan mengurangi rasa anti terhadap pelaku bullying. Biar bagaimanapun juga, setelah mendengar cerita ibu Henny dengan muridnya dulu sewaktu beliau masih menjadi guru konseling, saya mengerti, tidak ada anak yang benar-benar jahat dan buruk. Bahkan anak-anak dengan tingkah laku yang buruk itu bisa saja meninggalkan kenangan manis bagi kita jika kita mampu membuatnya berubah menjadi lebih baik. Meski tentu saja,  kenyataan tidak selalu semudah jika kita membayangkannya, tetap harus ada usaha dan keteguhan hati dalam menjalani pekerjaan apapun, apalagi pekerjaan yang melibatkan area psikologis seseorang.

8 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar