Jumat, 22 Maret 2013

Are You Ready to Marry Me and Myself??..Will You?? (Agnes Stephanie)


     Berbicara persoalan pernikahan bukan semudah membicarakan masalah memesan makanan siap saji. Memesan makanan siap saji, tinggal pilih mau pesan apa, bilang sama pelayanan mau pesan ini itu, bayar, dan menikmati setiap kenikmatannya. Menikah berarti menjadikan dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi pasangan kita untuk masuk ke dalam “comfort zone” kita. Harus siap lahir batin kalau ingin maju ke jenjang kehidupan yang baru itu. Kata orang justru badai dalam kehidupan baru dimulai saat masuk ke bahtera pernikahan. Membangun sebuah rumah tangga harus memiliki dasar pondasi yang kuat. Saya ingat ada seorang kerabat yang memberitahu saya bahwa membangun rumah tangga layaknya membangun rumah di tepi pantai. Harus siap di terjang ombak. Pertanyaannya pondasi rumah yang mau dibuat dari pasir atau batu karang? *Questions of Life #1 (feel free to ask your heart)* hehehe

     Banyak sekali pasangan-pasangan muda yang menikmati indahnya pernikahan hanya di awal-awal masa pernikahan. Kalo kata pembicara kelas priseks minggu lalu, pernikahan di Indonesia ada yang hanya bertahan 4 hari!! Agak melawan teori yang menyatakan bahwa pernikahan akan mulai memasuki masa pancaroba di tahun ke-4. Hehehe. Kenapa yah bisa begitu??

     Pembahasan minggu ini tentang divorce cukup menjawab semuanya. Meningkatnya angka perceraian di berbagai belahan dunia yang rata-rata dengan alasan sudah tidak ada kecocokan dikarenakan mereka kurang mengenal pasangan mereka lebih dekat dari awalnya. Selain itu perbedaan suku, ras, agama, dan budaya yang diterobos terus dan dianggap invisible juga menjadi salah satu alasan penyebab perceraian. Yang paling menyedihkan memang apabila pernikahan tersebut telah berlangsung berpuluh tahun namun pada akhirnya bercerai juga. Tidak ada yang dapat menebak nasib pernikahan sepasang individu, tidak ada yang menginginkan juga sebuah perceraian, tidak ada yang dapat menebak masalah apa yang akan muncul di dalam pernikahan, namun setiap pasangan mempunyai kesempatan untuk memilih bertahan atau menyerah dalam menghadapi badai pernikahan.

     Menikah berarti menerima diri pasangan apa adanya, setiap kekurangan dan kelebihan, dan yang paling penting menikahi seseorang berarti menikahi juga keluarga pasangannya, menikahi suku dan adat istiadat pasangannya, menikahi masalah yang dimiliki pasangan masing-masing, dan akan menikahi segala sesuatu yang berhubungan dengan pasanganya. Apabila seorang individu tidak dapat menerima salah satu aspek saja di dalam diri pasangannya atau paling tidak menghargai aspek yang paling terburuk dari pasangannya, untuk apa menyewa restoran mahal, makanan enak, membeli cincin berlian dan mengatakan “Will You Marry Me?”

     Akhir dari pernikahan yang tidak dilandasi oleh rasa saling menghargai akan berakhir dengan rasa sakit di salah satu pihak atau bahkan keduanya. Ada perumpamaan lain mengenai pernikahan. Saat kita menikah, berarti kita sudah harus siap memberikan kasih (mengasihi) kepada pasangan kita dan bukan lagi mengharapkan kasih dari pasangan kita. Saat mau memberi, berarti kita sudah harus memiliki persediaan yang banyak dan unlimited. Pertanyaannya adalah, apabila seseorang yang semasa hidupnya masih mengharapkan kasih sayang dari orang lain dan menuntut selalu mendapatkan kasih dan tidak mau mengasihi bahkan mengasihi orangtuanya yang notebene ada hubungan darah, bagaimana orang tersebut dapat mengasihi orang lain (calon suami/istri) di masa depan? *Questionsof life #2 (feel free to ask your heart )* hehe..Kalo kata semboyannya psikologi “Sembuhin diri sendiri dulu baru sembuhin orang lain” Kalo di pernikahan mungkin “Mengasihi diri sendiri dulu baru mengasihi orang lain” ^^

14 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar